Senin, 31 Januari 2011

"Manusia Super"

KOMPAS.com — Anak-anak muda itu memiliki hampir semua prasyarat untuk hidup nyaman dan sejahtera di kota. Namun, mereka memilih menjadi guru di pelosok-pelosok dusun negeri ini. Inilah kisah kaum muda yang berkomitmen untuk mencerdaskan rakyat.

Firman Budi Kurniawan (24) memindahkan gigi sepeda motornya ke gigi satu dan menarik gas dalam-dalam. Sepeda motor bebek itu pun melaju pelan meniti jalan setapak yang menanjak hampir 45 derajat.

Suara knalpot yang tadinya menyalak tiba-tiba mengedan. Rintangan pertama dengan susah payah bisa dilalui, selanjutnya sepeda motor itu meluncur bagai roller coaster di jalan penuh batu besar.

Kami tiba satu jam kemudian di sebuah dusun tanpa listrik di tengah hutan. Di antara pepohonan hutan, berdiri rumah-rumah panggung sederhana. Inilah Dusun Beroangin, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, tempat Firman tinggal dan bertugas sebagai guru sejak dua bulan lalu.

Firman adalah sarjana Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung yang bersedia bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), sebuah gerakan nonpemerintah yang menantang para sarjana berprestasi mengabdi sebagai guru di daerah terpencil selama satu tahun.

Selain Firman, ada 50 sarjana berprestasi lainnya yang ditempatkan di pelosok dusun di Majene, Bengkalis (Riau), Tulang Bawang Barat (Lampung), Paser (Kalimantan Timur), dan Halmahera Selatan (Maluku Utara). Mereka disiapkan secara serius agar bisa hidup di daerah terpencil. Mereka juga dibekali teknik mengajar secara kreatif.

Erwin Puspitaningtyas Irjayanti (24), sarjana dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, ditempatkan di Passau. Dusun tanpa listrik itu menjorok 5 kilometer ke dalam hutan dari jalan poros Makassar-Mamuju. Rabu (19/1) malam, kami bertandang ke sana. Suasana hutan begitu meraja. Suara kera dan lolongan anjing liar terdengar bersahutan hingga tengah malam.

Meski demikian, Wiwin—begitu dia disapa—masih menikmati beberapa ”kemewahan”. Setidaknya, di kampung itu ada sinyal telepon dan genset milik warga. Ketika genset itu dinyalakan, Wiwin bisa menumpang mengisi baterai laptop dan telepon selulernya.

”Kemewahan” itu tidak dinikmati Agung Firmansyah (24) yang bertugas di Dusun Manyamba, Majene. Sekadar untuk menelepon atau mengisi baterai, Agung harus turun gunung sejauh 6 kilometer ke permukiman di pinggir pantai melalui jalan terjal.

Persoalan lain, tidak satu pun rumah di dusun itu yang memiliki fasilitas mandi, cuci, dan kakus. Alhasil, sarjana Ilmu Komputer Universitas Indonesia itu pun harus membiasakan diri bangun pada pagi buta untuk mandi di Sungai Manyamba, yang sampai awal tahun 1980-an masih dihuni buaya.

Dukun sakti

Kondisi alam hanya satu dari seabrek tantangan yang harus mereka taklukkan. Mereka juga harus menghadapi murid-murid yang tidak lancar membaca meski telah duduk di kelas III atau IV. Fasilitas sekolah juga amat minim.

Di tengah kondisi seperti itu, Firman mencoba membuat terobosan. Selasa (18/1) petang, ia mengajak muridnya di SD 33 Battutala mendaki bukit Beroangin yang curam. Di bukit itu, ia mengajar Bahasa Inggris. ”Matahari... sun, langit... sky,” kata Firman sambil menunjuk matahari dan langit yang memerah di ufuk barat.

Di kelas VI SD 27 Titibajo, Agung mengajar Matematika dengan menggunakan kartu remi sebagai alat bantu pelajaran berhitung. Pelajaran itu menjadi terasa lebih mudah dan menyenangkan. Selain kartu remi, Agung juga kerap memanfaatkan benda-benda yang mudah ditemukan di sekitar dusun, seperti batu, pasir, kayu, sampai kompor sebagai alat peraga mata pelajaran IPA.

Tantangan lainnya, sejumlah warga dusun menganggap para guru muda itu ”manusia super” yang bisa melakukan apa saja. Firman beberapa kali dimintai tolong untuk mengobati orang yang digigit anjing gila. Lain waktu, dia diminta membetulkan mesin diesel, bahkan memberi nama bayi yang baru lahir. ”Saya dikira dukun sakti, ha-ha-ha,” ujarnya.

Wiwin pernah diminta mencari cara efektif untuk mengusir babi hutan. ”Seumur-umur, baru kali ini mikirin bagaimana mengusir babi hutan,” ujarnya.

Membangun mimpi

Anak-anak muda itu sebenarnya memiliki hampir semua prasyarat untuk hidup mapan di kota besar. Mereka punya prestasi akademik yang baik, jaringan, karier, dan penghasilan sangat lumayan.

Wiwin, misalnya, sebelumnya, adalah karyawan sebuah bank terkemuka. Penghasilannya per bulan belasan juta rupiah, bonus tahunan puluhan juta rupiah, dan punya kesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Semua itu dia tinggalkan demi GIM.

Peserta GIM lainnya tidak kalah hebat. Sebagian ada yang bekerja di perusahaan multinasional atau telah mendapat beasiswa ke luar negeri. Lantas, mengapa mereka rela menanggalkan itu semua?

”Saya merasa, gerakan ini cocok dengan panggilan hati saya. Saya bercita-cita menjadi kaya raya agar bisa mendirikan sekolah buat orang tidak mampu. Sekarang belum kaya sudah bisa menolong,” ujar Wiwin.

Soleh Ahmad Nugraha, pengajar muda di Dusun Lombang, Malunda, melihat, program ini memungkinkan dia belajar dari kearifan orang desa. ”Ini (pendidikan) S-2 dari alam,” ujar sarjana Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran yang menanggalkan kariernya sebagai dosen demi GIM ini.

Agung ikut GIM karena ingin hidupnya bisa menginspirasi orang lain. ”Saya ingin membangkitkan mimpi tentang masa depan yang lebih baik kepada anak-anak di daerah terpencil,” katanya.

Penggagas GIM, Anies Baswedan, sepakat, mimpi untuk menjadi orang terdidik harus dibangkitkan hingga ke pelosok dusun yang keberadaannya sering kali diabaikan lantaran selama ini kita terlalu berorientasi ke kota.

”Mimpi itu penting. Ketika mereka punya mimpi jadi orang terdidik, mereka akan sekolah. Dan, kita sebagai orang terdidik punya tanggung jawab menularkan virus pengetahuan kepada mereka,” lanjutnya.

GIM memang belum banyak membuahkan hasil. Namun, setidaknya, kini, di sebuah dusun di tengah hutan Battutala, Aliman (32) bermimpi bisa menyekolahkan anak laki-lakinya hingga sarjana. ”Dia tidak boleh bodoh seperti saya,” katanya.

Sebuah mimpi yang indah....

Sabtu, 29 Januari 2011

Buku Pengayaan Belum Prioritas

JAKARTA, KOMPAS.com — Buku pengayaan sebenarnya bukanlah kebutuhan yang mendesak bagi pendidikan di Tegal saat ini. Dana pendidikan dari pemerintah pusat sesungguhnya lebih dibutuhkan untuk mempercepat penyelesaian rehabilitasi sekolah-sekolah yang rusak atau tidak layak.
"Tetapi, karena sudah ada keputusan dari atas jika dana alokasi khusus atau DAK juga untuk buku pengayaan, ya kami tidak bisa apa-apa," kata Edy Pramono, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tegal, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (28/1/2011). Edy menanggapi soal beredarnya buku pengayaan tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sejumlah SMP di Tegal.

Menurut Edy, sebenarnya aspirasi tersebut sudah dititipkan juga lewat salah satu anggota Komisi X DPR yang datang ke Tegal saat reses. Daerah meminta supaya diberi kewenangan untuk memanfaatkan DAK sesuai prioritas atau kebutuhan, tetapi tetap dengan pertanggungjawaban.

"Kami sebenarnya butuh rehab sekolah daripada perpustakaan. Tapi karena sudah diputuskan dari atas, ya kami tidak bisa apa-apa," kata Edy.

Edy menjelaskan, penggunaan DAK tahun 2010 sudah ditentukan pemerintah pusat. Dana itu harus dimanfaatkan daerah untuk pembangunan fisik, seperti pembangunan ruangan kelas atau perpustakaan; dan nonfisik, seperti buku-buku pengayaan, referensi, panduan pendidik, serta alat peraga pendidikan.

Terkait pengadaan seri buku SBY di 45 dari 87 SMP di Tegal, Edy mengatakan, pemenang tender CV Mediatama yang mengajukan kepada panitia pelelangan. "Karena kami lihat sudah memenuhi petunjuk teknis DAK 2010, ya panitia menyetujui. Kami lihat buku-buku yang ditawarkan sudah sesuai juknis DAK, termasuk buku SBY. Kami lihat skornya dari cukup, baik, hingga sangat baik," kata Edy.

Edy meminta supaya persoalan buku SBY tersebut tidak ditarik ke arah politis atau pencitraan. Buku itu sudah dinilai layak untuk dipakai sebagai buku pengayaan yang bisa masuk ke perpustakaan sekolah. "Berarti kan, dari sisi ilmu, teladan, karakter ada, serta bisa dibaca siswa dan guru," kata Edy.

Edy menambahkan, buku SBY yang diterima sekolah sebenarnya hanya sebagian kecil dari buku-buku pengayaan. Di SMPN 1 Margasari, misalnya, dikirim buku sebanyak 1.956 eksemplar. Buku SBY ada 10 seri yang masing-masing 20 eksemplar. Di SMPN 2 Pagerbarang, buku SBY hanya empat judul yang masing-masing dua eksemplar, dari total buku yang diterima sebanyak 1.956 eksemplar.

Kamis, 27 Januari 2011

Wagub: Dana BOS Wajib Dipajang di Mading

JAKARTA, KOMPAS.com - Saat meninjau tiga sekolah di Jakarta Timur, Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto menyadari, bahwa hampir tiap sekolah tidak mengumumkan pertanggungjawaban dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Padahal, dana-dana tersebut penting untuk diumumkan untuk menegakkan prinsip good governance dan mencegah terjadinya penyalahgunaan.
"Tolong, dana BOS dan BOP yang diterima itu dipasang di sini," ungkap Prijanto, Rabu (26/1/2011), sambil menunjukkan sebuah mading di SMPN 198 Duren Sawit, Jakarta Timur.

Ia mengatakan, transparansi sebagai subsistem good governance harus dilakukan.

"Kalau sudah dipampang, akhirnya orang nggak akan berburuk sangka dan ini akhirnya menolong sekolah agar dana-dana itu tidak disalahgunakan," ujarnya.

Selain keterbukaan dalam hal pertanggungjawaban dana BOS dan BOP, Prijanto juga menginstruksikan untuk memasang pengumuman tentang pembebasan biaya sekolah.

"Saya ajari nih, anggarkan di RAPBS untuk membuat papan plang bahwa sekolah ini gratis, jadi tidak ada yang takut kena biaya mahal," pungkasnya, sembari memberikan instruksi kepada Kepala Sekolah SMPN 168 Duren Sawit.

Adapun persoalan dana BOS kini masih menjadi sorotan setelah BPK Perwakilan Jakarta menemukan indikasi dan potensi kerugian negara senilai Rp 5,7 miliar dalam pengelolaan dana BOS, BOP, dan Block Grant RSBI di 7 sekolah di DKI Jakarta, yaitu di SMPN 30, SMPN 84, SMPN 95, SMPN 28, SMPN 190, SMPN 67 dan SDN 012 RSBI Rawamangun Jakarta Timur.

Pada 1 Desember 2010 lalu, DPRD DKI telah menindak lanjuti dengan membuat Pansus terkait penuntasan kasus tersebut. Selain itu, masalah ini sedang dalam penanganan pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan telah menetapkan seorang tersangka.

Mau Tahu Besar Pesangon Mantan CEO Google?

KOMPAS.com — Mantan Chief Executive Officer (CEO) Google Inc Eric Schmidt baru saja diberi "pesangon" sebagai ucapan terima kasih atas jasanya mengurus Google Inc selama ini. Hal itu disampaikan pihak Google, Senin (24/1/2011) di sela-sela proses pengurusan dokumen legalnya.
Pesangon tersebut bukan uang tunai. Tambahan hak kekayaan yang akan diberikan kepada Eric Schmidt tanggal 2 Februari 2011 tersebut berupa stock option, tambahan hak kekayaan (equity) senilai 100 juta dollar AS.

Sesuai dengan dokumen legal yang dilaporkan ke Security Exchange Comission, minggu lalu, Schmidt sesungguhnya telah mengantongi saham Google sekitar 9,2 juta dollar AS per 31 Desember 2010. Jumlah itu setara dengan 2,9 persen saham Google secara keseluruhan dengan hak suara 9,6 persen saja.

Sebelumnya, Schmidt berencana menjual 534,000 saham kelas A miliknya. Jika dia benar-benar akan melakukan itu, dia masih menyisakan sekitar 9,1 persen hak suara di Google. Harga saham Google Inc terakhir 613,15 dollar AS per lembar.

Dengan pemberian equity (stock option) baru ini Google sesungguhnya mengakui kinerja Schmidt dengan cara mengangkat nilai brand Google sekaligus menambah kekayaan pribadi Schmidt. Bisa dikatakan ini taktik yang bagus dari Larry Page, pendiri Google, yang kini mengambil alih posisi CEO Google.

Schmidt sendiri masih akan tetap di Google sebagai executive chairman. Selama 10 tahun di Google sejak menjadi CEO tahun 2001, Eric memang berperan sekaligus sebagai mentor bagi dua pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin. Kini muridnya mungkin siap beraksi sendiri.(KOMPASIANA/Gusti Bob)

Rabu, 26 Januari 2011

Anggaran Terbesar untuk Membiayai Guru

JAKARTA, KOMPAS.com - Alokasi 20 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk pendidikan ternyata sebagian besar tersedot untuk membiayai gaji dan tunjangan guru. Pada 2011 ini, sekitar 56 persen alokasinya untuk guru, dan pada 2014 diperkirakan menyedot hingga 70 persen dari anggaran pendidikan nasional.

Kenyataan tersebut diungkapkan Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi saat memberi keterangan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (25/1/2011). Sidang tersebut mendengarkan keterangan dari pemerintah, DPR, dan saksi ahli mengenai uji materi pasal 55 ayat 4 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Menurut Heri, penggunaan anggaran pendidikan nasional yang sebagian besar untuk guru itu patut dicermati. Komisi X DPR sedang mengkaji dampak alokasi itu ke depan. Apalagi, kata Heri, ada desakan pada pemerintah untuk ikut membiayai guru di sekolah-sekolah swasta. Jika tidak diperhitungkan secara cermat, anggaran pendidikan nasional bisa habis untuk membiayai guru.

"Padahal, pemerintah masih membutuhkan dana yang cukup besar untuk membuat akses pendidikan yang terbuka untuk semua anak, terutama di pendidikan dasar. Selain itu juga untuk peningkatkan kualitas pendidikan di semua sekolah sesuai standar nasional," ujarnya.

Selasa, 25 Januari 2011

Hayooo... Siapa yang Mengawasi UN?

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta berencana membentuk tim pengawas ujian nasional dengan melibatkan unsur perguruan tinggi dan unsur lain sebagai antisipasi dihapusnya Tim Pemantau Independen. Tim pengawas ini juga diharapkan mampu meminimalisasi tindak kecurangan.

"Kami berusaha tetap bisa melibatkan berbagai unsur dalam pengawasan pelaksanaan ujian nasional," kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Edy Heri Suasana di Yogyakarta, Senin (24/1/2011).

Menurut dia, pihaknya tengah melakukan koordinasi dengan Kantor Kementerian Agama Kota Yogyakarta dan perguruan tinggi. Selain itu, pihaknya juga melakukan koordinasi internal dengan seluruh pihak di dinas pendidikan. Sejumlah perguruan tinggi yang rencananya akan dilibatkan untuk mengawasi pelaksanaan UN di antaranya adalah Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada.

"Kami sedang meminta kedua universitas tersebut agar bisa mengirimkan personelnya untuk membantu pengawasan UN," katanya.

Sementara itu, keterlibatan Kementerian Agama dalam pengawasan pelaksanaan UN dilakukan karena Pendidikan Agama Islam akan dimasukkan sebagai mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Edy mengatakan, keberadaan tim pengawas dari ketiga unsur tersebut juga akan dilegalkan melalui surat keputusan dari Wali Kota Yogyakarta.

"Melalui tim pengawas itu, kami berharap mampu meminimalisasi terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN," katanya.

Ia menargetkan, pada Februari nanti pembentukan tim pengawas tersebut sudah dapat dilaksanakan dan bisa langsung dilegalkan.

Senin, 24 Januari 2011

Hasil Ujicoba Ujian Nasional, Rendah

MATARAM, KOMPAS.com - Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat H Ruslan Effendy mengakui hasil try out atau uji coba menjawab soal-soal mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional rendah.

"Hasilnya tidak sesuai harapan. Menurut para siswa, soal try out yang mereka jawab relatif sulit dan sebagian materi soal yang dijawab belum diajarkan guru karena proses pemberian materi pelajaran belum selesai," katanya di Mataram, Minggu (23/1/2011).

Hampir seluruh mata pelajaran nilainya di bawah standar nilai Ujian Nasional (UN) yakni 5,5, namun dari lima mata pelajaran, yang paling rendah nilainya terjadi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika.

Meskipun hasil uji coba belum sesuai harapan, Ruslan mengaku tidak terlalu khawatir karena uji coba menjawab soal-soal mata pelajaran tahap pertama terdapat materi pelajaran yang belum diberikan oleh guru.

"Kita akan lakukan uji coba lagi. Dari uji coba tahap kedua nanti, kita akan melihat perkembangannya. Saya optimis hasilnya lebih memuaskan dibandingkan uji coba tahap pertama yang digelar pada 21 Desember 2010," ujarnya.

Selain menggelar uji coba menjawab soal-soal yang diujikan dalam UN, pihaknya juga akan meningkatkan koordinasi dengan para kepala sekolah, guru dan pengawas pendidikan untuk meningkatkan kualitas UN di Kota Mataram.

Upaya sosialisasi tentang sistem pelaksanaan dan penilaian UN tahun ajaran 2010/2010 yang menggunakan format baru juga terus dilakukan di sekolah-sekolah.

Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para pelaku pendidikan tersebut, tingkat kelulusan UN di Kota Mataram pada 2011, diharapkan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.

"Jadi kita all out agar target kelulusan dan kualitas UN tahun ini lebih baik dari tahun lalu. Tentunya dengan tetap mengedepankan asas kejujuran," ujar Ruslan yang baru tiga hari dilantik menjadi Kepala Dinas Dikpora Kota Mataram.

Pelaksanaan UN tahun ajaran 2010/2011 akan berlangsung mulai April 2011, untuk SMA/MA dan SMK dijadwalkan 18-20 April 2011, SMP/Mts 25-28 April 2011 dan Ujian Akhir Sekolah Bertaraf Nasional (USBN) untuk sekolah dasar dijadwalkan 10-12 Mei 2011.

Untuk UN susulan bagi mereka yang belum mengikuti UN utama dilaksanakan satu minggu kemudian.