Senin, 30 Mei 2011

Salah Kaprah Pendaftaran Online Siswa SD

Oleh Hendrawarman Nasution

KOMPAS.com - Entah ide yang terlalu cemerlang atau karena uang proyek yang dapat menanggung untung dari kantong rakyat, ternyata setelah dikajiulang dan direnungkan dengan kepala dingin, ide untuk "meng-online-kan" penerimaan siswa didik baru adalah omong kosong. Sistem online ini merupakan kebodohan yang diabsahkan.

Penerimaan dan pendaftaran siswa SD baru di Provinsi DKI mulai 2011 ini telah mempergunakan teknologi canggih yang mengharuskan calon wali murid mendaftarkan diri secara online. Penerimaan seorang siswa akan dibatalkan apabila ia belum terdaftar dalam database online.

Alasan utama pemakaian sistem ini adalah untuk memungkinkan seluruh calon siswa memperoleh hak mereka secara equal dan terhindar dari oknum-oknum yang ingin memanfaatkan masa penerimaan siswa baru untuk memancing di air keruh. Dengan adanya pendaftaran sistem online ini, calon siswa yang tidak memenuhi syarat untuk mendaftar menjadi hampir tidak mungkin lagi. Lho, mengapa demikian?

Dengan penerapan sistem online ini, urutan siswa yang layak diterima akan tertata secara otomatis karena database komputer yang mengambilalih tugas melakukan verifikasi awal. Dengan kata lain, apabila calon siswa baru tidak memenuhi kriteria utama, yaitu umur, maka ia akan tersingkir secara otomatis dari daftar. Misalnya, jika wali murid mengisi umur anaknya kurang dari prasyarat utama, yaitu 7 tahun, maka ia akan tersingkir secara otomatis. Walaupun, pada kenyataannya, sistem ini tidak menutup kemungkinan seseorang untuk "berbohong" ketika mengisi formulir pendaftaran online, yaitu dengan mengisi umur sesuai prasyarat.

Pertanyaannya, apakah pemakaian sistem ini merupakan lompatan jauh ke depan yang telah mempertimbangkan azas manfaat dan efisiensi? Jangan-jangan, ini hanya upaya oknum dinas pendidikan untuk menciptakan proyek tidak berguna yang menghambur-hamburkan uang rakyat tapi tidak efektif dan efisien, seperti kekacauan penerimaan siswa SMU pada peristiwa “bottleneck” penerimaan siswa SMU tahun lalu.

Salah kaprah

Pemakaian online dalam penerimaan murid baru memperlihatkan, seolah-olah institusi dinas pendidikan telah maju dan melek teknologi dan informasi. Namun, jika dikaji ulang, ternyata hal ini malah mempersulit dan memberikan inefisiensi pada masyarakat. Mengapa demikian?

Pertama, selain hanya beberapa gelintir wali murid yang memiliki komputer di rumah masing-masing, penerapan sistem ini malah akan merepotkan wali murid dalam melakukan registrasi. Seperti kita ketahui, bahwa hanya sebagian kecil saja dari wali murid yang melek IT dan dapat mengoperasikan komputer/internet. Kebanyakan wali murid adalah buta IT maupun teknologi internet. Mungkin, beberapa wali murid pernah mendengar istilah teknologi ini, tapi kebanyakan belum pernah mendengar, apalagi mengoperasikannya.

Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa tingkat kekacauan yang akan terjadi. Kondisi masyarakat yang dapat membuat penerapan sistem menjadi kontraproduktif bukannya tidak diketahui dinas pendidikan maupun Kementrian Pendidikan Nasional, namun penerapan sistem penerimaan siswa baru secara online tetap dilakukan. Bisa dikatakan, kondisi ini jelas menjauhkan konsep penerapan sistem yang seharusnya berazaskan kemudahan dan kesederhanaan.

Kedua, kenyataan bahwa masih banyak wali murid yang belum melek IT, sehingga ditakutkan akan menciptakan kecenderungan wali murid membuat kesalahan karena ketidaktahuan mereka. Jawaban beberapa pejabat dinas pendidikan yang mengatakan, bahwa pihak sekolah akan memberikan bimbingan dalam pengisian formulir online untuk meredusir masalah malah semakin memperlihatkan tidak efektif dan efisiennya penerapan sistem.

Belajar dari pengalaman

Suatu sistem dikatakan baik dan bermanfaat apabila efektif dan efisien. Efektif dalam arti tepat sasaran dan memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Efisien berarti mencapai sasaran secara tepat dengan enerji yang lebih sedikit atau dengan enerji yang sama namun dapat mencapai beberapa sasaran.

Kalau memang demikian, bukankah penambahan tahapan dalam prosedur penerimaan siswa baru ini hanya mengakibatkan ketidakefisienan dan waktu yang terbuang percuma? Bagaimana tidak, pihak sekolah harus menyediakan tim pembimbing yang bertugas memberikan penjelasan kepada wali murid yang notabene lebih banyak yang buta IT/internet dibanding yang melek. Oleh karena itu, dapat kita bayangkan bagaimana repot dan "time consuming"-nya tim ini dalam menjelaskan cara pengisian.

Penerapan sistem baru ini tampak semakin konyol ketika Seksi Kurikulum dan Sistem Penilaian TK/SD/PLB Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengatakan akan ada verifikasi kedua untuk memeriksa data tertulis pada online database dengan dokumen asli. Pemeriksaan mengenai umur, misalnya, akan dilakukan cross check dengan memeriksa KK (kartu keluarga).

Aneh. Logikanya, bila masih tetap harus dilakukan verifikasi, mengapa harus dilakukan penambahan tahapan dan tidak melakukannya secara langsung? Bukankah fungsi tahapan prosedur ini menjadi tidak efisien dan tidak mengurangi kerja verifikasi yang akan tetap dilakukan secara manual? Lalu, di mana manfaat fungsi online yang telah menghamburkan begitu banyak uang rakyat?

Penerapan sistem penerimaan siswa baru secara online untuk tingkat SD pada dasarnya menyimpan potensi untuk menciptakan kekacauan. Karena dengan pertimbangan yang tidak jelas, penerapan sistem ini tetap dilakukan. Akankah kekacauan berulang kembali seperti yang terjadi ketika penerimaan siswa SMU tahun lalu?

Kalau ini terjadi, sangat aneh melihat orang yang berkecimpung di dunia pendidikan tetapi berulang melakukan kesalahan yang sama. Kata-kata bijak dari seorang anonim mengatakan, "Bila kita belajar dari seorang yang masih membaca (belajar), kita seperti meminum air yang selalu segar dari mata air pegunungan yang selalu mengalir. Bila kita belajar dari seorang yang telah berhenti membaca (belajar), kita seperti meminum air dari kubangan/genangan yang airnya kotor karena tidak mengalir."

Penulis adalah pengamat pendidikan di Jakarta

Kamis, 26 Mei 2011

Klik... Belajar Bahasa Makin Canggih!

JAKARTA, KOMPAS.com — Berbagai temuan di bidang teknologi dan komunikasi terus berkembang pesat, salah satunya untuk bidang bahasa. Kini, belajar bahasa menjadi lebih mudah dan praktis dengan menggunakan digital language learning system.
Digital language learning system adalah perangkat laboratorium bahasa yang mudah dioperasikan untuk semua bahasa, seperti Inggris, Perancis, Mandarin, juga Jepang. Perangkat yang diberi nama ampere listening station ini mempunyai kelebihan memberikan suara yang lebih jernih. Hal ini agar siswa lebih mudah menangkap percakapan dengan menggunakan bahasa asing, baik sesama siswa maupun berkomunikasi dengan guru.

"Pengoperasiannya sangat sederhana. Dengan mengeklik mouse, dosen atau guru dapat mengontrol dan berbicara dengan siswa. Para dosen juga dapat mendengar apa yang dibicarakan siswa lainnya," kata Manajer Promosi PT Galva Technovision Yanto Setiawan kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2011) di Jakarta.

Selain itu, perangkat ini juga sangat hemat energi. Untuk satu kelas dengan 48 siswa, perangkat ini hanya membutuhkan 100 watt, lebih kurang sebesar power supply pada notebook.

Di Indonesia telah banyak sekolah dan universitas yang menggunakan alat ini. Ke depan, rencananya pihak Ampere akan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) untuk menghibahkan alat ini ke beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia.

"Secara teknis alat ini seperti intercom. Namun, jika intercom menggunakan speaker, alat ini menggunakan headphone," ujar Yanto.

Sabtu, 14 Mei 2011

Tahun Ini, 11.443 Siswa SMA Tidak Lulus!

JAKARTA, KOMPAS.com — Sedikitnya 11.443 siswa sekolah menengah atas atau sekitar 0,78 persen dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional 2011. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun lalu yang persentase ketidaklulusannya mencapai 0,96 persen. Dari data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah tersebut dihitung dari semua siswa yang mendaftar UN, yaitu 1.476.575 siswa.
Namun, dalam perjalanannya, ada sekolah yang tidak memasukkan nilai sekolah atau rapor. Hal itu mengakibatkan ribuan siswa terpaksa kehilangan 40 persen nilai kelulusannya.

"Yang memasukkan nilai itu sebanyak 1.467.058 atau 99,36 persen atau ada 9.517 yang tidak memberikan data," kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam jumpa pers kepada wartawan, Jumat (13/5/2011) sore di Jakarta.

Sementara itu, siswa yang tidak ikut UN ada sekitar 5.117 atau 0,35 persen. Setelah melalui proses evaluasi, dari 16.835 siswa SMA di seluruh Indonesia yang mengikuti UN sebanyak 1.461.941 siswa. Siswa SMA yang lulus UN tahun ini mencapai 1.450.498 siswa atau 99,22 persen.

Kamis, 12 Mei 2011

Mau, Gelar Sarjana Ganda?

KOMPAS.com - Kuliah empat tahun, tapi bisa dapat dua gelar sarjana sekaligus dari kampus di dalam dan luar negeri? Atau, langsung bisa menyandang gelar master? Itu bisa terwujud dengan adanya program atau kelas internasional yang ditawarkan perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) ternama di Indonesia.
Meskipun yang ditawarkan adalah perguruan tinggi dalam negeri, kuliah tak melulu di Indonesia. Mahasiswa nantinya akan mengenyam kuliah di luar negeri mulai satu hingga empat semester, bergantung kesepakatan perguruan tinggi di Indonesia dan mitranya di luar negeri.

Mitra program internasional umumnya adalah kampus-kampus di Australia dan kampus-kampus di Eropa, terutama Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Ada juga kampus di Amerika Serikat (AS), Kanada, Korea Selatan, dan Dubai.

Perguruan tinggi yang membuat program atau kelas internasional jenjang S-1 umumnya menawarkan gelar tunggal (single degree) dan gelar ganda (double degree). Sejak awal pendaftaran, calon mahasiswa harus jelas memilih karena hal itu menentukan besarnya biaya kuliah dan hidup di luar negeri yang mesti ditanggung.

Mahasiswa yang memilih gelar tunggal berarti hanya mendapat gelar sarjana S-1 dari perguruan tinggi di Indonesia. Mereka berkuliah di kampus mitra di luar negeri hanya selama satu semester.

Namun, mahasiswa yang sudah menyandang gelar sarjana dari Indonesia itu ada juga yang bisa langsung melanjutkan ke program master di luar negeri dengan masa kuliah cuma setahun. Jadi, bisa saja, dalam empat tahun, mahasiswa tersebut menyandang gelar master dari kampus di luar negeri.

Adapun yang gelar ganda, mahasiswa bakal mendapat gelar S-1 dari Indonesia dan bachelor dari kampus luar negeri. Mereka kuliah ke luar negeri pada tahun kedua atau ketiga.

Pengakuan internasional juga bisa didapat dari kampus yang menawarkan sertifikat internasional. Prita Kemal Gani, Direktur STIKOM London School Public Relations (LSPR), mengatakan, mahasiswa menjalani mata kuliah internasional yang diuji lembaga profesional penguji internasional dan universitas di Inggris dan Australia

Program tersebut membuat mahasiswa mudah mencari pekerjaan di samping dipersiapkan benar-benar dalam mata kuliah praktik. Juga bisa dipastikan, bahasa Inggris lulusan STIKOM LSPR lebih baik. Selain itu, lulusannya bisa mendapat kemudahan untuk melanjutkan ke sekolah di luar negeri, selain dapat melanjutkan di universitas yang menjadi mitra LSPR.

Kelas khusus

Mahasiswa yang bergabung di program atau kelas internasional itu diajar secara khusus, terpisah dari mahasiswa reguler. Mereka belajar dengan bahasa pengantar bahasa Inggris dan kurikulum yang mengacu pada kurikulum internasional.

Untuk itu, saat pendaftaran, calon mahasiswa mesti melampirkan bukti tes TOEFL yang aman, yaitu di atas 500, sedangkan IELTS mencapai lebih dari 6. Peserta lulusan SMA atau sederajat setara A level atau IB.

Minaldi Loeis, Dean of Programs Binus International, mengatakan, program internasional dimulai pada 2001 sebagai alternatif untuk belajar di luar negeri. Binus awalnya memulai di ilmu komputer yang bermitra dengan Universitas RMIT, Australia. Saat ini, mitra kampusnya berkembang dari Australia, Jerman, Inggris, Selandia Baru, Swiss, Korea Selatan, hingga Dubai.

"Setelah krisis, banyak orangtua yang masih ingin menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri. Tetapi, kurs dollar yang fluktuatif sempat membuat ngeri juga. Ini peluang bagi Binus untuk menawarkan program internasional," ujar Minaldi.

Minaldi yakin, program internasional bakal diminati karena kelas menengah Indonesia terus berkembang. Selain itu, era globalisasi menuntut generasi masa kini punya wawasan internasional yang membuatnya mampu bersaing di dalam dan luar negeri.

Mahasiswa asal Indonesia pun lebih siap kuliah di luar negeri. Ada waktu persiapan yang cukup bagi lulusan SMA menyiapkan mental hingga mengubah cara belajarnya sesuai tuntutan di kampus luar negeri.

Pada open house kelas internasional Universitas Indonesia (M), awal April lalu, koordinator-koordinator sejumlah fakultas di UI yang punya kelas internasional mempromosikan keunggulan masing-masing program khusus tersebut. Biaya yang ditawarkan relatif lebih ringan karena hanya satu hingga dua tahun kuliah di luar negeri, tetapi bisa memperoleh gelar ganda.

Mahasiswa juga tidak perlu ikut kelas persiapan. Sebab, mereka sudah dipersiapkan di kampus dalam negeri. Ketika memilih universitas di luar negeri, mahasiswa mesti berhitung benar, apakah dirinya mampu memenuhi syarat yang ditetapkan kampus yang dipilih.

Hal penting perlu dipersiapkan adalah skor TOEFL/IELTS, indeks prestasi kumulatif, (IPK), hingga skor menulis sesuai standar kampus yang diincar. Di UI, kelas internasional Fakultas Kedokteran (FK) termasuk yang diburu calon mahasiswa. Mahasiswa internasional akan memperdalam riset kedokteran di kampus di Australia atau Inggris.

"Saya memang ingin kuliah di luar negeri. Sudah cari yang kedokteran di Australia dan Malaysia, tetapi untuk mahasiswa asing syaratnya tidak mudah. Kelas internasional FK UI membuat saya tetap bisa dapat gelar dokter dari luar negeri," kata Mike, mahasiswa semester IV FKUI kelas internasional.

Adapun biaya masuk FKUI sebesar Rp 75 juta. Biaya per semester Rp 35 juta. Di kampus mitra, Monash University, biaya kuliah setahun 42.000 dollar Australia, sedangkan di Melbourne University 48.000 dollar Australia. Biaya tersebut di luar biaya hidup selama di luar negeri. (ESTER LINCE NAPITUPULU)

Kamis, 05 Mei 2011

Hardiknas, Speedy Gratis bagi Para Guru

AMBON, KOMPAS.com — PT Telkom Indonesia Area Maluku berpartisipasi memeriahkan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan menawarkan program pasang Speedy gratis kepada guru di Kota Ambon.

"Ini bentuk kepedulian PT Telkom untuk menunjang peningkatan kualitas pendidikan di Tanah Air, khususnya di Ambon, melalui program Schoolnet," kata Kepala Kantor Telkom Maluku Phill Rehatta di Ambon, Rabu (4/5/2011).
Telkom memberikan layanan gratis kepada guru, yakni gratis modem dan biaya instalasi, serta memberikan potongan harga untuk biaya layanan internet selama 50 jam yang sebelumnya Rp 200.000 menjadi Rp 99.000 per bulan.

"Pemasangan Speedy gratis ini berlangsung selama Mei, di mana setiap guru hanya diwajibkan menunjukkan nomor induk karyawan (NIK) serta rekomendasi dari kepala sekolah. Terpenting, di rumah mereka terpasang telepon rumah," katanya.

Rehatta menegaskan, program tersebut dimasudkan untuk memudahkan guru dalam melaksanakan tugas belajar-mengajar, sekaligus memudahkan mereka di bidang teknologi, komunikasi, dan informasi.

Dia menambahkan, sejak Speedy diluncurkan di Ambon dan Maluku pada 2008, pihaknya juga aktif memberikan pelatihan dan pendidikan internet gratis kepada guru serta siswa di berbagai sekolah, sekitar 200 di antaranya adalah guru dari berbagai sekolah.

"Pelatihan internet dilakukan secara gratis pada Broadband Learning Comunication (BLC) di Plaza Telkom Ambon, di mana Telkom selain menyediakan komputer juga tenaga instruktur untuk melatih mereka," tandasnya.

Selain bagi guru, Telkom juga memberikan layanan khusus internet lain kepada masyarakat, yakni gratis modem dan pemotongan biaya pemakaian hingga 37,5 persen dari tarif sebelumnya untuk semua paket.

"Pemotongan biaya pemakaian ini berlaku selama tiga bulan pertama sejak pemasangan. Hal ini dimaksudkan agar kelebihan dananya bisa digunakan untuk persiapan pendidikan pada tahun ajaran baru," katanya.

Dia mengakui, sejak dibuka pada 2008, peminat Speedy terus meningkat, mencapai 2.000 orang setiap tahun, dan hingga akhir 2010 telah mencapai 2.400 pelanggan.

"Kami juga menargetkan 2.000 pelanggan akan terlayani selama 2011, dan kami mengutamakan berbagai kemudahan serta pelayanan dan akses maksimal kepada pelanggan," tandas Rehatta.

Selasa, 03 Mei 2011

Postur Anggaran Kemdiknas Naik Terus

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan Nasional rasanya tak pernah kesulitan dalam mengajukan anggaran dana. Hal itu terlihat dari postur anggaran pendidikan untuk tahun 2009 sampai 2012 yang selalu mengalami peningkatan secara signifikan.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun Kompas.com, anggaran pendidikan untuk tahun 2011 yang mencapai hampir Rp 250 triliun, atau tepatnya Rp 248.978 triliun, tahun 2012 akan dinaikkan menjadi Rp 281.456 triliun. Adapun rinciannya sebagai berikut, pada 2011 postur anggaran yang mencapai Rp 248.978 triliun disalurkan ke daerah sebanyak Rp 158.234 triliun dan ke pusat Rp 90.744 triliun. Sementara pada 2012, postur anggaran pendidikan sebesar Rp 281.456 rencananya akan disalurkan ke daerah sebesar Rp 178.742 triliun dan pusat sebesar Rp 102.714.

"Diperlukan langkah untuk mengoptimalkan anggaran tersebut. Dengan demikian, amanat UU tentang wajib belajar sembilan tahun dapat tercapai," kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Agung Laksono, Senin (2/5/2011) siang, di Jakarta.

Agung menambahkan, dana tersebut disebar ke 17 kementerian dan dua kementerian di luar kementerian utama, seperti Kemdiknas dan Kementerian Agama (Kemenag).

"Karena masalah pendidikan menjadi tanggung jawab setiap kementerian," kata Agung.

Untuk itu, saat ini pemerintah tengah fokus terhadap pembangunan pendidikan 2010-2014 dengan lima prioritas program, seperti peningkatan akses dan daya saing pendidikan tinggi, peningkatan akses dan relevansi pendidikan menengah dan vokasi, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, penuntasan pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu dan peningkatan akses dan mutu pendidikan anak usia dini (PAUD).

"Itulah yang kami prioritaskan saat ini dalam menyambut Indonesia emas pada 2045," ungkapnya.

Senin, 02 Mei 2011

Pelajar Indonesia Raih 8 Medali ICYS

JAKARTA, KOMPAS.com - Pelajar Indonesia mampu menunjukkan konsistensinya untuk berprestasi di ajang kompetisi penelitian tingkat dunia International Conference of Young Scientis (ICYS) di Moskwa, Rusia. Indonesia berhasil mempersembahkan satu medali emas, dua medali perak, dua medali perunggu, dan tiga penghargaan khusus.
Pelajar yang berhasil mengharumkan nama bangsa adalah Jessica Lo (SMAK Cita Hati Surabaya) yang meraih medali emas. Medali perak dipersembahkan Luthfi Mu'awan (SMAN 1 Purwareja) dan Christy Hong (SMA St.Laurensia Tangerang).

Medali perunggu diraih Ninda Frisky dan Annisa Fitriani (keduanya dari SMAN 1 Yogyakarta) dan Christa Lorenzia Soesanto (SMP St.Laurensia Tangerang). Adapun penghargaan khusus diberikan kepada Ganang Albryansyah (SMPN 1 Bontang), Fialdy Josua Pattirajawane (SMP Chandra Kusuma Medan), dan Arief Ridho Kusuma (SMAN 1 Samarinda).

"Pada tahun Ini, Jerman yang unggul. Namun, Indonesia peraih medali terbanyak untuk yang Asia," ujar Monika Raharti, Koordinator ICYS Indonesia, Minggu (1/5/2011). Ia mengatakan sejak ikut ICYS tahun 2005 hingga sekarang, tim Indonesia tidak pernah pulang dengan tangan kosong.

Lomba ini untuk menggali potensi peneliti muda yang kelak dapat berperan dalam penemuan dan pengembangan sains untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di dunia. Pelajar yang mewakili Indonesia diseleksi mulai dari tingkat regional yang dipusatkan di Medan, Bontang, Denpasa, dan Bandung.

Minggu, 01 Mei 2011

Inilah Kronologi Perjokian di Bojonegoro

AKARTA, KOMPAS.com — Polres Bojonegoro mengungkapkan kronologi kasus perjokian ujian nasional (UN) oleh enam SMP PGRI Kadewan, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur. Kejadian ini melibatkan banyak pihak, termasuk Moelyono, kepala sekolahnya sendiri.
Seperti diberitakan, kasus perjokian dalam ujian nasional (UN) tingkat SMP terungkap di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Rabu (27/4/2011). Enam orang diperiksa di Kepolisian Resor Bojonegoro berkaitan dengan kasus tersebut, termasuk seorang kepala SMP PGRI Kedewan.

Kepala Polres Bojonegoro Ajun Komisaris Besar Widodo menjelaskan, modus perjokian itu adalah enam orang menggantikan siswa peserta UN, dengan imbalan senilai Rp 100.000 per mata pelajaran yang diujikan. Widodo menduga, perjokian ini terorganisasi karena enam joki itu berseragam sekolah dan membawa kartu peserta. Perjokian itu kemungkinan diotaki kepala sekolah untuk memenuhi target kelulusan.

Adapun kronologi penyimpangan tersebut sebagai berikut.

1. Di hari kedua pelaksanaan UN SMP, Selasa (26/4/2011), yaitu pada mata pelajaran Bahasa Inggris, enam peserta tercatat tidak memasuki ruang ujian meskipun bel masuk telah berbunyi.

2. Melihat keenam peserta yang belum masuk ruang ujian, petugas (panitia dan pihak kepolisian) mendekati mereka dan menyuruhnya masuk ke ruang ujian.

3. Keenam peserta tersebut menolak masuk ke ruangan dengan alasan tidak akan masuk ruang ujian sebelum bertemu dengan kepala sekolah dan menerima sejumlah uang yang dijanjikan.

4. Petugas dan panitia langsung mengadakan klarifikasi. Kepala sekolah dan keenam peserta tersebut langsung dibawa ke kantor Polres Bojonegoro untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Sampai saat ini, Kamis (28/4/2011), kepala sekolah dan enam peserta tersebut masih ditahan untuk dimintai keterangan.

5. Menurut keterangan sementara pihak Polres Bojonegoro dan juga berdasarkan informasi di lapangan, nama-nama siswa PGRI yang tidak bisa mengikuti UN adalah Sapto Adi Subagyo, Andi Murdana, Juwanto, Lagiono, Ahmad Naim, serta Musta'im. Keenam siswa ini sudah pergi ke luar Jawa untuk bekerja sehingga tidak mungkin mengikuti UN.

Melihat hal itu, Moelyono, Kepala SMP PGRI, segera merekayasa administrasi UN. Ia kemudian mengganti keenam peserta tersebut dengan orang lain. Adapun orang-orang yang diminta menggantikan posisi enam muridnya itu adalah Darto, Hono, Abib, Pustoko, Edi, dan Hadi. Untuk tugas "menggantikan" itu, Moelyono menjanjikan membayar orang-orang suruhannya atau joki UN itu sebesar Rp 100.000 dan baru dibayarkan sebesar Rp 50 ribu.

6. Sampai berita ini diturunkan, pihak Polres Bojonegoro terus mendalami perkara perjokian tersebut. Dinas Pendidikan Bojonegoro mendukung pihak kepolisian mengusut tuntas dan menindak tegas pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan UN.

Adapun kronologi kasus ini dihimpun Kompas.com berdasarkan surat Nomor 800/3035/412.40/2011 dari Dinas Pendidikan Bojonegoro yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan Nasional.