Senin, 30 Mei 2011

Salah Kaprah Pendaftaran Online Siswa SD

Oleh Hendrawarman Nasution

KOMPAS.com - Entah ide yang terlalu cemerlang atau karena uang proyek yang dapat menanggung untung dari kantong rakyat, ternyata setelah dikajiulang dan direnungkan dengan kepala dingin, ide untuk "meng-online-kan" penerimaan siswa didik baru adalah omong kosong. Sistem online ini merupakan kebodohan yang diabsahkan.

Penerimaan dan pendaftaran siswa SD baru di Provinsi DKI mulai 2011 ini telah mempergunakan teknologi canggih yang mengharuskan calon wali murid mendaftarkan diri secara online. Penerimaan seorang siswa akan dibatalkan apabila ia belum terdaftar dalam database online.

Alasan utama pemakaian sistem ini adalah untuk memungkinkan seluruh calon siswa memperoleh hak mereka secara equal dan terhindar dari oknum-oknum yang ingin memanfaatkan masa penerimaan siswa baru untuk memancing di air keruh. Dengan adanya pendaftaran sistem online ini, calon siswa yang tidak memenuhi syarat untuk mendaftar menjadi hampir tidak mungkin lagi. Lho, mengapa demikian?

Dengan penerapan sistem online ini, urutan siswa yang layak diterima akan tertata secara otomatis karena database komputer yang mengambilalih tugas melakukan verifikasi awal. Dengan kata lain, apabila calon siswa baru tidak memenuhi kriteria utama, yaitu umur, maka ia akan tersingkir secara otomatis dari daftar. Misalnya, jika wali murid mengisi umur anaknya kurang dari prasyarat utama, yaitu 7 tahun, maka ia akan tersingkir secara otomatis. Walaupun, pada kenyataannya, sistem ini tidak menutup kemungkinan seseorang untuk "berbohong" ketika mengisi formulir pendaftaran online, yaitu dengan mengisi umur sesuai prasyarat.

Pertanyaannya, apakah pemakaian sistem ini merupakan lompatan jauh ke depan yang telah mempertimbangkan azas manfaat dan efisiensi? Jangan-jangan, ini hanya upaya oknum dinas pendidikan untuk menciptakan proyek tidak berguna yang menghambur-hamburkan uang rakyat tapi tidak efektif dan efisien, seperti kekacauan penerimaan siswa SMU pada peristiwa “bottleneck” penerimaan siswa SMU tahun lalu.

Salah kaprah

Pemakaian online dalam penerimaan murid baru memperlihatkan, seolah-olah institusi dinas pendidikan telah maju dan melek teknologi dan informasi. Namun, jika dikaji ulang, ternyata hal ini malah mempersulit dan memberikan inefisiensi pada masyarakat. Mengapa demikian?

Pertama, selain hanya beberapa gelintir wali murid yang memiliki komputer di rumah masing-masing, penerapan sistem ini malah akan merepotkan wali murid dalam melakukan registrasi. Seperti kita ketahui, bahwa hanya sebagian kecil saja dari wali murid yang melek IT dan dapat mengoperasikan komputer/internet. Kebanyakan wali murid adalah buta IT maupun teknologi internet. Mungkin, beberapa wali murid pernah mendengar istilah teknologi ini, tapi kebanyakan belum pernah mendengar, apalagi mengoperasikannya.

Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa tingkat kekacauan yang akan terjadi. Kondisi masyarakat yang dapat membuat penerapan sistem menjadi kontraproduktif bukannya tidak diketahui dinas pendidikan maupun Kementrian Pendidikan Nasional, namun penerapan sistem penerimaan siswa baru secara online tetap dilakukan. Bisa dikatakan, kondisi ini jelas menjauhkan konsep penerapan sistem yang seharusnya berazaskan kemudahan dan kesederhanaan.

Kedua, kenyataan bahwa masih banyak wali murid yang belum melek IT, sehingga ditakutkan akan menciptakan kecenderungan wali murid membuat kesalahan karena ketidaktahuan mereka. Jawaban beberapa pejabat dinas pendidikan yang mengatakan, bahwa pihak sekolah akan memberikan bimbingan dalam pengisian formulir online untuk meredusir masalah malah semakin memperlihatkan tidak efektif dan efisiennya penerapan sistem.

Belajar dari pengalaman

Suatu sistem dikatakan baik dan bermanfaat apabila efektif dan efisien. Efektif dalam arti tepat sasaran dan memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Efisien berarti mencapai sasaran secara tepat dengan enerji yang lebih sedikit atau dengan enerji yang sama namun dapat mencapai beberapa sasaran.

Kalau memang demikian, bukankah penambahan tahapan dalam prosedur penerimaan siswa baru ini hanya mengakibatkan ketidakefisienan dan waktu yang terbuang percuma? Bagaimana tidak, pihak sekolah harus menyediakan tim pembimbing yang bertugas memberikan penjelasan kepada wali murid yang notabene lebih banyak yang buta IT/internet dibanding yang melek. Oleh karena itu, dapat kita bayangkan bagaimana repot dan "time consuming"-nya tim ini dalam menjelaskan cara pengisian.

Penerapan sistem baru ini tampak semakin konyol ketika Seksi Kurikulum dan Sistem Penilaian TK/SD/PLB Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengatakan akan ada verifikasi kedua untuk memeriksa data tertulis pada online database dengan dokumen asli. Pemeriksaan mengenai umur, misalnya, akan dilakukan cross check dengan memeriksa KK (kartu keluarga).

Aneh. Logikanya, bila masih tetap harus dilakukan verifikasi, mengapa harus dilakukan penambahan tahapan dan tidak melakukannya secara langsung? Bukankah fungsi tahapan prosedur ini menjadi tidak efisien dan tidak mengurangi kerja verifikasi yang akan tetap dilakukan secara manual? Lalu, di mana manfaat fungsi online yang telah menghamburkan begitu banyak uang rakyat?

Penerapan sistem penerimaan siswa baru secara online untuk tingkat SD pada dasarnya menyimpan potensi untuk menciptakan kekacauan. Karena dengan pertimbangan yang tidak jelas, penerapan sistem ini tetap dilakukan. Akankah kekacauan berulang kembali seperti yang terjadi ketika penerimaan siswa SMU tahun lalu?

Kalau ini terjadi, sangat aneh melihat orang yang berkecimpung di dunia pendidikan tetapi berulang melakukan kesalahan yang sama. Kata-kata bijak dari seorang anonim mengatakan, "Bila kita belajar dari seorang yang masih membaca (belajar), kita seperti meminum air yang selalu segar dari mata air pegunungan yang selalu mengalir. Bila kita belajar dari seorang yang telah berhenti membaca (belajar), kita seperti meminum air dari kubangan/genangan yang airnya kotor karena tidak mengalir."

Penulis adalah pengamat pendidikan di Jakarta

Tidak ada komentar: