Seperti diberitakan, kasus perjokian dalam ujian nasional (UN) tingkat SMP terungkap di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Rabu (27/4/2011). Enam orang diperiksa di Kepolisian Resor Bojonegoro berkaitan dengan kasus tersebut, termasuk seorang kepala SMP PGRI Kedewan.
Kepala Polres Bojonegoro Ajun Komisaris Besar Widodo menjelaskan, modus perjokian itu adalah enam orang menggantikan siswa peserta UN, dengan imbalan senilai Rp 100.000 per mata pelajaran yang diujikan. Widodo menduga, perjokian ini terorganisasi karena enam joki itu berseragam sekolah dan membawa kartu peserta. Perjokian itu kemungkinan diotaki kepala sekolah untuk memenuhi target kelulusan.
Adapun kronologi penyimpangan tersebut sebagai berikut.
1. Di hari kedua pelaksanaan UN SMP, Selasa (26/4/2011), yaitu pada mata pelajaran Bahasa Inggris, enam peserta tercatat tidak memasuki ruang ujian meskipun bel masuk telah berbunyi.
2. Melihat keenam peserta yang belum masuk ruang ujian, petugas (panitia dan pihak kepolisian) mendekati mereka dan menyuruhnya masuk ke ruang ujian.
3. Keenam peserta tersebut menolak masuk ke ruangan dengan alasan tidak akan masuk ruang ujian sebelum bertemu dengan kepala sekolah dan menerima sejumlah uang yang dijanjikan.
4. Petugas dan panitia langsung mengadakan klarifikasi. Kepala sekolah dan keenam peserta tersebut langsung dibawa ke kantor Polres Bojonegoro untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Sampai saat ini, Kamis (28/4/2011), kepala sekolah dan enam peserta tersebut masih ditahan untuk dimintai keterangan.
5. Menurut keterangan sementara pihak Polres Bojonegoro dan juga berdasarkan informasi di lapangan, nama-nama siswa PGRI yang tidak bisa mengikuti UN adalah Sapto Adi Subagyo, Andi Murdana, Juwanto, Lagiono, Ahmad Naim, serta Musta'im. Keenam siswa ini sudah pergi ke luar Jawa untuk bekerja sehingga tidak mungkin mengikuti UN.
Melihat hal itu, Moelyono, Kepala SMP PGRI, segera merekayasa administrasi UN. Ia kemudian mengganti keenam peserta tersebut dengan orang lain. Adapun orang-orang yang diminta menggantikan posisi enam muridnya itu adalah Darto, Hono, Abib, Pustoko, Edi, dan Hadi. Untuk tugas "menggantikan" itu, Moelyono menjanjikan membayar orang-orang suruhannya atau joki UN itu sebesar Rp 100.000 dan baru dibayarkan sebesar Rp 50 ribu.
6. Sampai berita ini diturunkan, pihak Polres Bojonegoro terus mendalami perkara perjokian tersebut. Dinas Pendidikan Bojonegoro mendukung pihak kepolisian mengusut tuntas dan menindak tegas pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan UN.
Adapun kronologi kasus ini dihimpun Kompas.com berdasarkan surat Nomor 800/3035/412.40/2011 dari Dinas Pendidikan Bojonegoro yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan Nasional.
Kepala Polres Bojonegoro Ajun Komisaris Besar Widodo menjelaskan, modus perjokian itu adalah enam orang menggantikan siswa peserta UN, dengan imbalan senilai Rp 100.000 per mata pelajaran yang diujikan. Widodo menduga, perjokian ini terorganisasi karena enam joki itu berseragam sekolah dan membawa kartu peserta. Perjokian itu kemungkinan diotaki kepala sekolah untuk memenuhi target kelulusan.
Adapun kronologi penyimpangan tersebut sebagai berikut.
1. Di hari kedua pelaksanaan UN SMP, Selasa (26/4/2011), yaitu pada mata pelajaran Bahasa Inggris, enam peserta tercatat tidak memasuki ruang ujian meskipun bel masuk telah berbunyi.
2. Melihat keenam peserta yang belum masuk ruang ujian, petugas (panitia dan pihak kepolisian) mendekati mereka dan menyuruhnya masuk ke ruang ujian.
3. Keenam peserta tersebut menolak masuk ke ruangan dengan alasan tidak akan masuk ruang ujian sebelum bertemu dengan kepala sekolah dan menerima sejumlah uang yang dijanjikan.
4. Petugas dan panitia langsung mengadakan klarifikasi. Kepala sekolah dan keenam peserta tersebut langsung dibawa ke kantor Polres Bojonegoro untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Sampai saat ini, Kamis (28/4/2011), kepala sekolah dan enam peserta tersebut masih ditahan untuk dimintai keterangan.
5. Menurut keterangan sementara pihak Polres Bojonegoro dan juga berdasarkan informasi di lapangan, nama-nama siswa PGRI yang tidak bisa mengikuti UN adalah Sapto Adi Subagyo, Andi Murdana, Juwanto, Lagiono, Ahmad Naim, serta Musta'im. Keenam siswa ini sudah pergi ke luar Jawa untuk bekerja sehingga tidak mungkin mengikuti UN.
Melihat hal itu, Moelyono, Kepala SMP PGRI, segera merekayasa administrasi UN. Ia kemudian mengganti keenam peserta tersebut dengan orang lain. Adapun orang-orang yang diminta menggantikan posisi enam muridnya itu adalah Darto, Hono, Abib, Pustoko, Edi, dan Hadi. Untuk tugas "menggantikan" itu, Moelyono menjanjikan membayar orang-orang suruhannya atau joki UN itu sebesar Rp 100.000 dan baru dibayarkan sebesar Rp 50 ribu.
6. Sampai berita ini diturunkan, pihak Polres Bojonegoro terus mendalami perkara perjokian tersebut. Dinas Pendidikan Bojonegoro mendukung pihak kepolisian mengusut tuntas dan menindak tegas pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan UN.
Adapun kronologi kasus ini dihimpun Kompas.com berdasarkan surat Nomor 800/3035/412.40/2011 dari Dinas Pendidikan Bojonegoro yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar