Selasa, 01 Desember 2009

Mari Tolak UN Sekarang Juga!

Hampir semua media menuliskan berita soal ujian nasional (UN). Semuanya bermuara kepada kebijakan pemerintah untuk menghapus UN. Tentu terjadi pro dan kontra. Bukan hanya orang luar pendidikan saja yang pro dan kontra, di dalam dunia pendidikan pun terjadi pro dan kontra. Para guru besar di perguruan tinggi beradu argumentasi. Masing-masing mempertahankan pendapatnya. Bahkan ada guru besar di tempat saya melanjutkan pendidikan yang jelas-jelas memprovokasi kami dengan mengatakan, “Mari Tolak UN Sekarang Juga!”


Menolak UN bukanlah perkara mudah, apalagi sampai membuat semacam dukungan facebook tandingan seperti kasus bibit-hamzah yang kabarnya telah satu juta lebih orang mendukung gerakan itu. Saya tak berani membuat gerakan mari tolak UN di facebook, sebab belum terlihat dukungan besar dari masyarakat seperti kasus hukum yang menimpa mantan pimpinan KPK.

Saya hanya menyarankan kepada anda, untuk berpikir tenang dan melihat plus minus UN dari kacamata semua pihak. Dari kacamata siswa, guru, orang tua siswa, masyarakat dan pemerintah. Bila itu semua sudah kita dengar, maka kita akan mendapatkan jawaban yang holistik.

Mari kita baca koran kompas pagi ini!

Mahkamah Agung kembali memenangkan gugatan masyarakat lewat citizen law suit terkait penyelenggaraan ujian nasional. Kasasi yang diajukan pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi soal kemenangan masyarakat atas gugatan ujian nasional dinyatakan ditolak MA (Kompas, 25/11/2009).

Membaca koran kompas itu tentu kita sebagai bagian dari masyarakat harusnya bahagia, tetapi, …………………….., mengapa kita diam saja? Tak seperti gerakan bibit hamzah di ranah hukum? Bukankah pendidikan anak bangsa ini juga penting? Sebab UN diduga telah melahirkan orang-orang yang tidak jujur di negeri ini. Melahirkan orang-orang cerdas tapi tak berbudi pekerti yang luhur.

Keputusan MA, menurut saya sebagai seorang pendidik menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang esensi pendidikan daripada yang ditunjukkan oleh pemerintah atau Depdiknas yang bersikukuh melaksanakan UN. Mereka, para pejabat depdiknas itu justru malah mengajukan peninjauan kembali.

Benar juga kata prof Anita Lie dalam tulisannya, bahwa berbagai argumentasi sudah dikemukakan para pakar, pemerhati, praktisi pendidikan, orangtua, dan siswa sendiri untuk menggugat kebijakan UN. Sementara itu, pemerintah masih akan kembali melakukan upaya hukum terakhir, yakni pengajuan peninjauan kembali. Sebaiknya semua pihak yang terlibat proses hukum ini bersikap arif dan mempertimbangkan realitas penyelenggaraan UN dan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan.

Nampaknya harus ada gerakan kuat dari masyarakat tentang UN ini, dan yang memulai itu janganlah dari kami sebagai pendidik, tetapi harus dimulai dari masyarakat, walaupun kami tahu pendidik adalah juga bagian dari masyarakat. Kami hanya berpesan, Jangan korbankan lagi anak didik kami!.

Saya hanya bisa mengelus dada ketika anak-anak yang seharusnya menjadi kreatif, menjadi mati kreativitasnya karena harus mempersiapkan UN dengan baik. Mereka dijejali soal-soal UN sampai maaf (mabok) sehingga banyak loh uneg-uneg mereka yang harus kita dengarkan juga. Lab-lab sepi dari praktek penelitian dan pengembangan, guru-guru pun tak mampu untuk menulis hasil penelitian ilmiah karena harus mensukseskan UN di sekolahnya. Wajar saja banyak guru yang mentok di IVA.

Mari kita baca plus minus UN dalam kacamata siswa yang saya ambil dari blog anak didik saya yang mempunyai blog di http://abyanbramantyo.blogspot.com/.

As you can see, National Exam is just a months away. Actually, there are just 3 months left before that. Yang berada dipikiran gue, cuma terbayang “tiga bulan lagi, tiga bulan lagi, tiga bulan lagi!” sampe otak kena diabetes mellitus. Ada juga yang bilang, “ah, UN gak ngefek buat gue”. Yah, ideologi dari orang-orang emang beda dari ideologi kita-kita. Misalnya gue. Kalo gue ngedumel tentang “tiga bulan lagi” itu, nggak harus UN kan? mungkin aja, tiga bulan lagi gue ultah, atau ada acara yang penting, ato mungkin gue bakal melahirkan di hari itu. Jadi, dampak UN ke gue itu adalah: NGEFEK, TAPI BERLAGAK NGGAK NGEFEK.
***
Dari kacamata gue, yang gue liat dari UN itu penuh dengan ke-positif-an dan ke-negatif-an. Yang positifnya, mungkin bisa kayak di bawah ini:

-average UN test are a lot more easier than US.
-siswa jadi lebih giat belajar (ceileh)
-bisa ujian dengan full ready karena (mungkin) didukung les sama tambahan, dan semacem banyaknya

Dan buat negatifnya, jadi burem kalo liat jauh. Hyayayyaya……

-Stres (pasti)
-Kayaknya makin kedepan jadwalnya makin cepet, jadi makin kepepet waktunya untuk persiapan
-berpengaruh sama kesehatan, karena bimbel sana-sini, dan semacem banyaknya yang ga bisa gue sebut di sini.

Jadi, menurut kalian? setuju nggak setuju, semua itu kalian putuskan lewat kacamata kalian sendiri, okey?

Well, I think that’s enough (you think?). Gue nggak mau telat ILP (lagi). Chiao!
Sebenarnya, kalau kita mau jujur, pemerintah telah melakukan apa yang disebut “transaksi” pendidikan dan kurang menghormati proses hukum di negeri ini. Jangan sampai ada gerakan tolak UN yang berujung kepada ketidakpercayaan masyarakat kepada depdiknas atau pemerintah. Kalau pemerintah masih saja ngeyel, itu berarti Pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai proses pembelajaran, tetapi sebagai proses pemadatan pengajaran. Apalagi UN akan dipercepat menjadi bulan Maret 2010. Oleh karena itu, saya menyarankan sebaiknya pemerintah meninjau ulang kembali pelaksanaan UN dan jadikan UN hanya sebagai pemetaan pendidikan saja, dan bukan penentu kelulusan siswa. Sebab UN ternyata telah mematikan kreativitas siswa.
Bila UN tetap saja dilaksanakan dengan sistem seperti ini, UN pada akhirnya telah menjebak sekolah menjadi sama dengan bimbingan belajar (bimbel). Benarkah?
salam blogger Persahabatan
omjay
http://wijayalabs.com

Tidak ada komentar: