Selasa, 01 Desember 2009

Cermin Retak Ujian Nasional

PROBLEM dunia pendidikan kita sedang menghadapi babak baru. Silang sengkarut seputar Ujian Nasional (UN) segera menuju arah berbeda. Pemerintah dan lawannya, kelompok-kelompok masyarakat yang tidak setuju model evaluasi belajar itu, pasti mencari basis argumentasi baru dalam berseteru.

Babak baru itu hadir menyusul gugatan masyarakat lewat citizen law suit terkait penyelenggaraan ujian nasional yang dimenangkan Mahkamah Agung (MA). Badan peradilan tertinggi itu menolak kasasi pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi yang memenangkan masyarakat atas gugatan ujian nasional.



Mereka yang menolak sistem evaluasi belajar itu segera memperoleh tambahan amunisi atas keluarnya putusan MA. Sementara pemerintah merasa tak harus menghapus UN karena menilai putusan MA hanya meminta perbaikan fasilitas dan kualitas pendidikan. Tidak secara spesifik memerintahkan pembatalan UN. Inilah yang akan menyebabkan perdebatan perlu tidaknya UN akan menuju arah baru itu.

Sejauh ini memang banyak orang tidak mengerti mengapa pemerintah begitu ngotot mempertahankan UN. Tiap tahun ratusan ribu pelajar sekolah lanjutan tingkat atas di Tanah Air, tidak lulus ujian tersebut. Sehingga, mereka terpaksa mengubur mimpi bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal, banyak di antara yang tidak lulus UN itu merupakan siswa pandai di sekolahnya.

Ujian nasional memang belum bisa menjadi alat untuk mengevaluasi kualitas pendidikan. Seorang siswa sampai tidak lulus UN, belum tentu akibat potensi akademiknya rendah. Ada siswa SMA yang diterima di perguruan tinggi negeri melalui jalur penelurusan minat dan kemampuan akademik (PMKA). Siswa ini selalu juara sehingga bisa masuk PTN lewat PMKA. Tetapi apa lacur, kesempatannya kuliah di PTN harus terbunuh setelah ia divonis tidak lulus UN.

Kebijakan UN, dengan demikian, telah membunuh masa depan anak didik. Seorang siswa yang jeblok nilai pelajaran bahasa Inggris dan Indonesia, juga bisa tidak lulus UN. Padahal, boleh jadi, dia punya keunggulan di bidang sains. Suatu bidang studi yang sangat penting untuk olah kemampuan pada jenjang pendidikan lebih berat di perguruan tinggi.

Si Jenius Thomas Alva Edison, bahkan pernah dipecat dari sekolah karena dianggap bodoh. Tetapi dia tekun belajar dan berhasil menemukan bola lampu listrik dan lebih dari seribu penemuan lainnya. Kini, Edison yang divonis tolol oleh para gurunya itu disebut sebagai penemu terbesar sepanjang sejarah.

Banyak orang tidak bisa menerima UN dijadikan algojo untuk mengeksekusi lulus atau tidaknya seorang siswa. Kemampuan akademik seseorang sungguh tidak bisa diukur dari seberapa banyak dia dapat menjawab soal pilihan ganda. Hasil pendidikan adalah soal isi kepala, keterampilan, dan pekerti. Dan, bobot ketiga objek tadi ditentukan oleh proses belajar yang panjang. Ini pula yang menjadi bekal seseorang dalam memainkan peran kemasyarakatannya kelak.

Memang, untuk menjadi pandai, terampil, dan berbudi pekerti mulia, seseorang bisa melakukannya secara otodidak. Akan tetapi, sekolah tetap penting. Sebab, kita percaya lembaga ini pastilah lebih efektif dalam mencapai tujuan pendidikan tadi. Maka, sekolah harus diberi otoritas penuh dalam membina, mengarahkan, dan mengevaluasi para peserta didik.

Dalam hubungan itu, pemerintah tak perlu ikut-ikutan menjadi penentu lulus tidaknya siswa. Pemerintah cukup merangsang dengan memberikan fasilitas yang memadai kepada sekolah-sekolah. Agar mutu lulusan terus membaik dan negara berisi generasi penerus yang potensial dan dapat diandalkan. ***
Bukti kecintaan guru kepada muridnya...

Bukti kecintaan guru kepada muridnya…

Tak Punya Konsep

UN telah memakan banyak korban. Beberapa guru harus berhadapan dengan polisi setelah ketahuan membantu murid yang mereka cintai agar lulus. Siswa yang tidak lulus dipaksa membunuh cita-cita bisa kuliah atau mencari pekerjaan.

Menjawab persoalan itu, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK). Siswa SMA dan kejuruan yang tidak lulus UN, boleh mengikuti UNPK Paket C kalau ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Kebijakan pemerintah ini tentu saja menuai kritik. Ini menggambarkan betapa sesungguhnya pemerintah tidak konsisten terhadap pendiriannya. Di satu sisi berteguh UN merupakan cara maha jitu mengukur mutu pendidikan, tetapi mengakui jenis ujian lain. Ini kemudian mengeraskan keyakinan publik bahwa pemerintah memang tidak pernah punya konsep yang jelas mengenai arah pendidikan nasional.

UNPK Paket C tentu saja tidak bisa dijadikan saluran bagi anak-anak korban ujian nasional. Sejak zaman dulu, sasaran program paket adalah masyarakat yang punya hambatan untuk mengikuti pendidikan reguler. Misalnya, mereka yang dari kalangan miskin. Tujuannya untuk memberantas buta huruf.

Atau mereka yang kebetulan sudah bekerja tetapi butuh ijazah pendidikan lebih tinggi untuk mendapat penyesuaian pangkat dan gaji. Jangan lupa, hingga hari ini, masyarakat masih memandang sebelah mata ijazah Paket A, B, atau C, karena mutunya rendah. Atau lantaran sifatnya yang formalistis dalam meraihnya.

Kebijakan paling fatal dari pemerintah adalah ketika menganggap UNPK Paket C sebagai solusi bagi siswa SMK yang tidak lulus UN. Padahal, paket ini jelas tidak bisa diikuti anak-anak SMK karena materi ujiannya tidak sesuai. Sehingga, selain menyebabkan tingginya peluang tidak lulus, siswa SMK juga punya standar penilaian berbeda dari sekolah umum. Sekolah kejuruan, patokannya adalah uji kompetensi. Justru ini yang tidak ada dalam UNPK Paket C. Perangkat UNPK belum mengakomodasi karakteristik SMK.

Dengan berat harus disebut, Depdiknas telah melakukan penyesatan publik. Lembaga ini sudah membangun opini seolah-olah UNPK sama dengan UN. Padahal, ijazah Paket C sama sekali berbeda dengan ijazah reguler. Khususnya di mata dunia usaha. Maka dari itu, apapun bentuknya, UNPK bukanlah solusi terhadap penyelesaian masalah ujian nasional.

Biarlah program Kejar Paket A, B, dan C berjalan seperti sekarang. Yakni, untuk menampung mereka yang butuh kesetaraan pendidikan formal atau peserta belajar mandiri. Sedangkan siswa yang tidak lulus UN, lebih baik mengulang tahun depan. ***
Kita percaya, masih banyak gedung sekolah lebih buruk dari ini...

Kita percaya, masih banyak gedung sekolah lebih buruk dari ini…

Fokus ke Fasilitas Pendidikan

SESUNGGUHNYA, berbagai kalangan telah menggelorakan dengan sengit penolakan terhadap ujian nasional. Ada segudang argumentasi bisa dilontarkan untuk menyebut betapa model evaluasi siswa tersebut berdampak buruk bagi sistem pendidikan.

Kelihatan sekali pemerintah tidak mau memahami perbedaan antara penilaian mutu nasional dan ujian umum. Uji mutu nasional biasa dipakai sebagai peta untuk membantu pemerintah memperoleh informasi tertentu. Selanjutnya, gambaran itu dijadikan landasan mengambil kebijakan. Sedangkan ujian umum tujuannya menyeleksi siswa untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih tinggi. Wujudnya adalah sertifikat atau ijazah kelulusan.

Dari perspektif itu, ujian nasional adalah uji mutu nasional. Mestinya, hanya dipakai untuk memetakan mutu pendidikan. Tetapi, oleh pemerintah, ujian nasional ini dihunus untuk menentukan lulus tidaknya siswa. Pemerintah telah merampas apa yang menjadi kompetensi guru dan sekolah.

Itu sebabnya, kalaupun pemerintah hendak mempertahankan program Ujian Nasional, maka metode ini wajib dikembalikan pada tempatnya. Hasil UN mestinya sama seperti Nilai Ebtanas Murni (NEM) pada masa lalu. Ia tidak menjadi standar kelulusan siswa. Meskipun begitu, NEM tetap diperlukan untuk menilai mutu sekolah dan mengambil langkah perbaikan.

Secara yuridis, UN dan UASBN, jelas-jelas perbuatan melawan hukum. Sebab, sesuai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, guru diberi wewenang mengevaluasi sekaligus menentukan kelulusan para siswanya. Sementara, berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah yang diberi wewenang mengevaluasi hasil belajar siswa. Maka dari itu, peraturan pemerintah yang melanggar undang-undang itu harus dicabut. Pemerintah wajib mengembalikan kepada guru wewenang mengevaluasi hasil belajar.

Kecuali melanggar undang-undang, model ujian nasional juga berdampak buruk bagi dunia pendidikan. Para peserta didik hanya terdorong mempelajari naskah-naskah soal empat mata pelajaran yang diujikan. Para siswa terdorong berorientasi hasil sembari mengesampingkan proses belajar. Ini berbahaya karena akan menghasilkan lulusan sekolah yang rapuh pondasi keilmuannya.

Satu hal yang mengerikan atas dampak pelaksanaan UN adalah menggejalanya budaya korupsi dan kecurangan. Para guru, pemerintah daerah, dan orang tua siswa menjadi pelaku-pelaku korupsi demi meluluskan peserta didik. Ini bisa disimak dari fenomena kebocoran soal dan beredarnya lembar jawaban setiap kali UN digelar.

Pemerintah memang sepatutnya mengembalikan fungsi UN pada jalurnya. Sekadar pemetaan mutu pendidikan sehingga punya dasar untuk merencanakan langkah perbaikan di bidang pendidikan. Tugas pokok pemerintah adalah menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai. Seperti, peningkatan mutu guru, akses buku pelajaran bagi siswa, pembangunan sekolah, laboratorium, dan perpustakaan. Soal lulus atau tidaknya siswa, biarlah guru yang memutuskan. ***
http://edukasi.kompasiana.com/2009/11/27/cermin-retak-ujian-nasional/

Tidak ada komentar: