Selasa, 01 Desember 2009

Buat Apa Sekolah Kalau Cuma Mengejar Nilai UN?

Para petinggi di sekolah kaget. Para guru dan siswapun dibuat kaget. Pasalnya UN yang biasanya dilaksanakan di bulan April, akan dimajukan menjadi bulan Maret 2009. Pro dan kontra pun terjadi, dan semua bermuara dengan pertanyaan mampukah para siswa mengerjakan soal-soal UN?

Akhirnya strategi pembelajaran pun dipasang. Pendalaman materi (PM) mulai dipublikasikan. Kata anak-anak PM membuat mereka tidak nyaman. Kata guru PM akan membuatmu menjadi siap untuk menghadapi UN yang akan datang. Dengan banyak berlatih soal-soal dan mendalami materi UN, diharapkan nilai anak-anak terdongkrak naik.



UN membuat para siswa menjadi stres. Tak terlihat lagi kreativitas siswa. Doktrin-doktrin agar lulus dengan nilai UN yang tinggi membawa anak menjadi belajar. Belajar hanya materi UN dan seolah-olah materi UN jauh lebih penting daripada pelajaran lainnya dan pelajaran non UN menjadi pelajaran pelengkap penderita. (Kasihan dech Loh!).

Guru-guru UN bekerja setengah mati, Guru non UN disarankan cuti. Karena jam mengajarnya kalau bisa diberikan kepada pelajaran yang di-UN-kan saja. Pelajaran matematika, IPA, dan Bahasa menjadi primadona. Sedangkan pelajaran agama, IPS, Pkn, Kesenian, olahraga, dan TIK di SMP hanya sebagai pelajaran pelengkap penderita. Seolah-olah siswa akan sukses hidupnya kelak bila telah menguasai MIPA dan Bahasa. Lantas timbullah dikotomi diantara sesama guru. Guru UN (ujian Nasional) dan guru US (ujian Sekolah). Guru-guru UN mendapatkan penghasilan tambahan dari banyaknya pendalaman materi yang dilakukan, sedangkan guru US hanya diam membisu ketika petinggi sekolah mengatakan, “jangan membuat tugas sekolah terlalu banyak, anak-anak kita harus fokus ke nilai UN. Kita tak ingin sekolah ini mendapatkan nilai UN rendah.”

Anda sudah baca kompas cetak hari ini, Kamis 12 November 2009? Sekolah segera Padatkan pelajaran.

Perubahan jadwal ujian nasional SMP dan SMA sederajat yang dimajukan pada Maret mengagetkan guru-guru. Pihak sekolah segera mengatur strategi baru untuk memadatkan materi pembelajaran dan memajukan pemberian pelajaran tambahan untuk siswa kelas III.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional (UN) SMP/MTs, SMP Luar Biasa, SMA/MA, dan SMK, jadwal UN yang biasanya dilaksanakan pada April dimajukan menjadi Maret. UN untuk SMA sederajat dilaksanakan minggu ketiga Maret 2010, sedangkan untuk SMP sederajat pada minggu keempat Maret 2010.

Otak saya bekerja ekstra, dan tidak menerima begitu saja keadaan ini. Dalam koran kompas itu saya baca, Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru republik Indonesia, mengatakan. pelaksanaan UN sering kali mengorbankan siswa dan guru. Di tingkat akhir sekolah pembelajaran siswa hanya difokuskan untuk lulus UN dengan pemberian pelajaran tambahan yang bisa menyebabkan siswa stres. ”Pencapaian UN sering kali tidak menggambarkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya. Ini perlu mendapat evaluasi yang serius,” ujar Sulistiyo

Seorang guru besar Universitas Negeri Semarang (UNS) telah berani mengatakan itu, bukankah kami yang menjadi guru di sekolah harus juga berani meng-amininya?. UN telah membuat kreativitas siswa tak tergali dengan baik. UN membuat lab-lab IPA menjadi sepi, yang harusnya penuh dengan percobaan-percobaan IPA menjadi tergantikan dengan pendalaman materi UN. Guru-guru pun menjadi lemah dalam bidang tulis menulis karena waktunya telah habis dalam rutinitas kerja mengangkat nilai UN sekolah. Budaya meneliti seakan sirna, dan kegiatan diskusi ilmiah pun kian sunyi saja.

Anak-anak menambah waktu jam belajarnya demi UN. Bagi mereka yang punya uang banyak, akan mendaftarkan dirinya mengikuti bimbingan belajar (Bimbel). Bimbel menjadi subur dan berdiri dengan megahnya menyayingi sekolah berkat adanya UN. Bahkan ada iklan bimbel yang menuliskan, Bila anak anda tak lulus UN, uang anda akan kami kembalikan 100%. Bahkan ada brosur bimbel yang menuliskan, anak-anak ini masuk sekolah favorit dan perguruan ternama berkat bimbingan kami. Lalu guru kemana?

Akhirnya ada sebuah pertanyaan besar dalam batin saya yang terdalam, Buat apa sekolah kalau cuma mengejar nilai UN?

Salam Blogger Persahabatan

Omjay

Tidak ada komentar: