Setelah hingar bingar Idul Adha berakhir, Hari Minggu kugunakan untuk melatih imajinasiku. Bersemedi di kamar sambil menonton televisi.
Berharap tak ada yang mengganggu, tiba-tiba sms masuk. Aku mulai membaca….
“Pak Erfan, besok ada UAS ya? Jadwal untuk kelas satu apa ya? Bingung nih mau ngajarin apa”
Aku membalas sms itu, sama dengan jawabanku untuk sms orang tua murid yang menanyakan hal serupa.
“Iya,bu! Besok UAS. Untuk kelas 1 – 3, tidak ada jadwal. Anak-anak bebas memilih. Kita buat seperti pos dan seperti bermain. Jadi anak-anak tidak merasa ada ujian. Kalau mau belajar cukup mengulang-ulang saja. Dibuat fun dan tidak membebani”
Biasanya jika dibalas seperti itu, orang tua paham. Namun yang satu ini rupanya belum terpuaskan. Hingga suara hpku berganti menjadi panggilan….
Aku mengangkat, “Hallo, bu!”
“Iya nih, pak saya masih bingung. Kok nggak ada jadwal sih, pak! Gimana mau belajar?”
“Memang dibuat seperti itu, dibuat per-pos dan anak-anak bebas memilih. Kita buat kesan seperti tak ada ujian. Jadi tidak ada jadwal,” jelasku.
“Kok aneh gitu ya?” ucapnya
Aku menarik nafas, ”Bu, anak-anak kelas 1-3 memang masanya bermain. Kalau hasil ujian didapatkan dari belajar semalam itu bukan harapan kita, bu! Karena harapan kita ujian itu melihat seberapa kemampuan anak-anak dalam menyerap materi,” jelasku lagi. “Selain itu kalau anak-anak dipaksa belajar untuk ujian besok khawatirnya membebani. Dan itu bukan tujuan kita,” lanjutku lagi.
“Oh, ya sudah pak! Nanti saya telpon lagi,” ucapnya sambil menutup telepon. Aku menghela nafas!
***
Wajar rasanya ketika anak-anak akan ujian, sebagai orang tua kita bersibuk ria. Menyuruh anak-anak belajar, jam les ditambah dan melarang hal-hal yang disukai anak-anak. Semua difokuskan pada ujian.
Sedangkan harapan kami para guru, ada ujian atau tak ada ujian semua berjalan seperti biasa. Anak-anak fun dan tidak terbebani. Jikapun mau belajar cukup mengulang-ulang saja. Jangan dipaksakan.
Kesannya tak ada persiapan memang. Namun hasil ujian yang diharapkan bukan karena balajar semalam atau sks (sistem kebut semalam). Namun melihat seberapa besar kemampuan siswa dalam menyerap materi.
Selain itu, hasil ujian (UTS maupun UAS) tak dijadikan hasil murni akan pencapaian kompetensi anak-anak. Penilaian dilihat dari keseharian, baik itu akademis maupun non akademis.
Apa tidak ada praktek contek-mencontek?
Beberapa orang tua ada yang menanyakan hal itu. Karena pos-pos diset seperti pos biasa. tak ada kesan ujian. Anak-anak datang ke pos-pos, lalu mengerjakan soal. Pindah ke pos yang lain, semua berjalan seperti dalam kegiatan sehari-hari. Sehingga praktek contek mencontek tak terjadi.
Begitulah! Saat mendengar MA memutuskan untuk meniadakan Ujian Nasional (UN), aku termasuk yang setuju. Sebenarnya bukan masalah ujiannya saja namun masalah standar nilai juga.
Terus terang hasil ujian akhirku rendah sekali. Padahal selama 3 tahun nilai raportku di atas rata-rata bahkan termasuk yang juara. Namun saat melihat hasil UNku, aku syok luar biasa. Saat berhasil masuk ke IPB, ternyata nilai UN tak berpengaruh. IPKku termasuk yang baik.
Paradigma belajar mati-matian saat menjelang ujian rasanya masih menjadi paradigma keharusan. Mempersiapkan memang sah-sah saja. Namun bukankah lebih baik mempersiapkan dari jauh-jauh hari. Terlebih untuk anak-anak kelas bawah yang masih perlu banyak bermain.
Jangan sampai hanya karena mau ujian membuat anak-anak menjadi stress. Jangan sampai pula hanya karena mengejar hasil ujian merusak keceriaan anak-anak!
1 komentar:
assalamualaikum
Posting Komentar