Selasa, 26 Juli 2011

Andika Tenteng Kursi Sendiri ke Sekolah


GRESIK, KOMPAS.com - Sebuah kisah menggugah kembali datang dari dunia pendidikan. Andika Imam Taufik (9), siswa kelas III SD Negeri Kotakusuma, Sangkapura, Bawean, membeli kursi plastik sendiri karena tak mampu membayar "biaya kursi" yang ditetapkan pihak sekolah. Kursi itu ditentengnya setiap hari ke sekolah.

Andika yang tercatat sebagai siswa kelas unggulan ICP (International Class Program) di sekolahnya terpaksa mendapat perlakuan berbeda di sekolah. Ia harus mengikuti pelajaran di bangku seadanya ketika teman lainnya duduk di kursi baru.

Untuk memasuki tahun pelajaran baru, Andika sebagai siswa ICP, diharuskan membayar biaya sebesar Rp 324.000 sesuai ketentuaan pihak sekolah. Biaya sekolah itu tidak termasuk biaya beli kursi yang nilainya Rp 55.000. Sebagai anak dari keluarga kurang mampu, Andika hingga kini belum bisa membayar biaya sekolah termasuk ‘biaya kursi’ sekolah. Oleh karena itu, ia harus menjalani pendidikan di bangku seadanya. Ibunda Andika, Musnada (35), pun akhirnya nekad membeli kursi plastik sendiri ke pasar, meskipun harus dengan cara kredit.

“Saya sempat diberitahu penjual di pasar kalau sudah ada orang yang membelikan kursi untuk teman-teman sekelas Andika. Karena saya bersikeras, penjual membolehkan saya membeli kursi dengan cara cicilan dan harga potongan,” ujar Musnada, Senin (25/7/2011).

Musnada menjelaskan, ia mendapatkan informasi dari tetangga yang putranya juga sekelas dengan Andika bahwa ada rapat wali murid yang menyebutkan penarikan uang kursi sebesar Rp 55.000.
Musnada tidak bias menghadiri rapat wali murid kala itu karena ia harus bekerja. Saat itu, wanita yang bekerja sebagai penjual jamu pikulan keliling itu tak mengikuti rapat tersebut.

“Saya tidak ikut rapat dan saya juga tidak membayar karena belum ada uang. Biasanya bayarnya di belakang saat semesteran atau saat dapat uang waktu Lebaran,” terang Musnada, yang kini menjadi orangtua tunggal setelah suaminya meninggal dunia dua tahun lalu.

Perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah ini memiliki dua anak, Andika, dan si sulung Ana Lutfiyah yang masuk kelas VII MTs Umar Mas'ud, Sangkapura. Musnada mengaku sangat kesulitan menanggung biaya pendidikan anaknya, karena ia menjadi orangtua tunggal dan pemasukan yang didapat hanya dari berdagang kecil-kecilan. Dari penghasilan berjualan jamu, dalam sehari rata-rata ia mengantongi Rp 20.000 hingga Rp 35.000.

Penghasilan tersebut diputarnya kembali untuk membeli bahan pembuatan jamu, membeli beras, dan uang saku kedua anaknya. Untuk biaya pendidikan anak sulungnya, ia bersyukur karena ditanggung oleh Kepala MTs, Fatimah.

"Terus terang, ini karena hanya keinginan yang besar untuk menyekolahkan anak. Sebenarnya kondisi kami kurang mampu membiayainya," ujar Musnada.

Sementara itu, Kepala Sekolah SDN Kotakusuma, Hadi Suwoyo, seperti dikutip dari Media Bawean menyatakan, dirinya baru menjabat posisi saat ini. Sebagai kepala sekolah SDN Kotakusuma yang baru saja dilantik, sampai saat ini belum memutuskan program. Sehingga, menurutnya, apa yang berjalan merupakan kebijakan lama. Hadi menyebut, adanya siswa tidak mampu yang diharuskan mengeluarkan biaya pendidikan, akan dievaluasi kembali.

"Sebagai kepala sekolah yang baru di SDN Kotakusuma, tentunya akan mengevaluasi kebijakan lama, bila program yang selama ini baik, dilanjutkan. Tapi bila ada kebijakan dianggap kurang layak, kami evaluasi kembali," paparnya. (Dyan Rekohadi)

Tidak ada komentar: