Minggu, 05 Desember 2010

Perempuan Sukses = Seimbang Karir dan Keluarga?

Oleh Hermawan Kartajaya (Founder & CEO, MarkPlus, Inc)
Bersama Nastiti Tri Winasis (Chief Operations, MarkPlus Insight)

KOMPAS.com - “Karir” menempati 10 besar kekhawatiran perempuan dalam kehidupannya, khususnya bagi perempuan bekerja. Hal ini diungkapklan oleh sekitar 7,7 persen dari 1.301 perempuan yang disurvey oleh MarkPlus Insight pertengahan tahun 2010 yang lalu.

Kecemasan apabila tidak suskes dalam karir cukup membayang-bayangi mereka. Jika ditelusuri lebih jauh, sebanyak 16,9 persen dar
220 perempuan yang disurvey mengaku bahwa berhasil di sektor publik adalah segalanya bagi mereka. Memang, bukan angka yang fantastis, tetapi menunjukkan adanya indikasi bahwa karir telah menjadi salah satu salah satu tolok ukur kesuksesan bagi perempuan di Indonesia. Lalu bagaimana dengan keseimbangan antara karir dan keluarga?

Secara kodrati perempuan yang telah menikah dan mempunyai anak bertugas mengasuh anak, mengurus keluarga termasuk mengurus suami. Bahkan, sejak jaman prasejarah, kegiatan “meramu” (= memasak dan tinggal di rumah) adalah urusan perempuan; sedang “berburu” (= bekerja) merupakan urusan laki-laki. Banyak pandangan yang mengatakan bahwa, percuma saja perempuan berhasil dalam karir jika keluarganya berantakan. Oleh karena itu, tolok ukur kesuksesan bagi perempuan masa kini adalah apabila keberhasilan membangun karir dibarengi dengan kesuksesan mengelola rumah tangganya.

Pengaruh budaya dan tradisi ketimuran menjadikan perempuan-perempuan Indonesia mampu berperan menjalankan tugas ganda (bahkan majemuk dan “multitasking”), baik sebagai ibu rumah tangga dalam fungsi pengasuhan anak dan keluarga di sektor domestik sekaligus sebagai wanita pekerja yang sejajar dengan laki-laki di sektor publik. Perempuan secara kodrat telah dilengkapi dengan kekuatan-kekuatan yang tidak dimiliki laki-laki, sekalipun dalam kehidupan rumah tangga pada umunya seorang lelaki memiliki peran lebih tinggi.

Mendefinisikan kesuksesan bagi perempuan Indonesia masa kini khususnya yang sudah menikah, tidaklah mudah. Namun demikian, paling tidak emansipasi bagi perempuan tidak lagi dimaknai sebagai ‘keinginan perempuan untuk sederajat dengan laki-laki’, tetapi lebih ke arah kebebasan untuk memilih jalan hidup. Karena dalam proses menentukan jalan hidupnya tersebut perempuan menggunakan otaknya untuk berpikir, maka perempuan juga harus bertanggung jawab atas pilihannya.

Secara kodrati, perempuan mempunyai tugas melahirkan anak, dan secara budaya perempuan mempunyai tugas mengasuh anak. Kodrat adalah sesuatu yang diberikan Tuhan tanpa bisa ditolak lagi, sementara budaya mengasuh anak apalagi tunduk kepada laki-laki adalah merupakan ”pilihan”, bukan kodrat.

Ketika memasuki jenjang perkawinan, banyak kepentingan perempuan yang kemudian saling berbenturan karena semua tampak menjadi begitu kompleks. Konflik batin terjadi saat seorang perempuan ”dituntut” menjadi ibu yang bertanggung jawab atas keberadaan anak dan tetap utuhnya rumah tangga, tetapi di sisi lain mereka dihadapkan pada keinginan untuk meraih kemajuan dari balik dunia kerja. Kondisi ini memunculkan dilema yang bisa menjadi perangkap bagi perempuan. Mereka kemudian seolah-olah harus memilih salah satu: keluarga atau karir?

Pada dasarnya, hal terpenting adalah menyingkirkan dilema antara ”mana yang lebih penting, keluarga atau karir?”. Di sini seharusnya bisa dijawab dengan bagaimana setiap perempuan memandang nilai sebuah kebahagiaan dalam hidupnya. Ada kelompok perempuan yang merasa bahagia apabila bisa menemani anaknya sepanjang waktu dan melihat anak-anak tumbuh didampingi seorang ibu yang dapat membimbingnya. Rasa bahagia seorang perempuan kelompok ini akan benar-benar terasa bila dapat memenuhi perannya sebagai ibu. Di lain pihak, ada kelompok perempuan yang berpendapat tak perlu harus meninggalkan dunia kerja sepanjang keluarga dan anak-anak dapat menerima hal tersebut. Kelompok ini berpendapat bahwa harus ada usaha untuk memenuhi keinginan agar dua unsur penting dalam hidup perempuan yang telah berumah tangga itu berjalan harmonis. Terlepas dari hal tersebut, pada dasarnya apa pun keputusan yang diambil perempuan, sama-sama mempunya konsekuensi.

Peran majemuk perempuan menuntut keikutsertaan perempuan pada proses pengambilan keputusan, tidak hanya di sektor domestik saja tetapi juga masuk ke ranah publik. Peran majemuk perempuan merupakan perilaku dan tindakan sosial yang diharapkan dapat menciptakan stabilitas dan harmoni dalam keluarga.

Saat ini kemandirian finansial menjadi salah satu obsesi banyak perempuan di kota besar. Sukses berkarir sekaligus mengurus rumah tangga menjadi idealisme mereka. Perempuan bahkan merasa butuh diyakinkan bahwa mereka sanggup menjalankan berbagai profesinya di luar rumah sekaligus menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Dukungan dunia kerja pada perempuan pekerja juga semakin meningkat dengan munculnya perbaikan susasana kerja melalui penyediaan sarana khusus bagi perempuan yang memiliki anak, misalnya tempat penitipan anak. Masuknya perempuan ke sektor publik maupun maraknya laki-laki yang mulai merambah sektor domestik akibat munculnya sikap tenggang rasa di kalangan laki-laki untuk meringankan pekerjaan isterinya telah memberikan implikasi yang cukup menguntungkan bagi kalangan pemasar. Jika kita berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, sudah tidak asing lagi kita temukan pria yang rela menggendong bayinya sementara si isteri asyik berbelanja. Gendongan bayi yang dirancang untuk dibawa oleh ayah dan kereta bayi dengan pegangan dan roda yang disesuaikan dengan ketinggian badan si ayah paling tidak merupakan contoh kecil dari gejala tersebut. Belum lagi banyaknya laki-laki yang kemudian menyukai kesibukan di dapur sementara si isteri memilih melakukan pekerjaan maskulin tanpa kehilangan sisi femininnya.


-------------------
Artikel ini ditulis berdasarkan analisa hasil riset sindikasi terhadap hampir 1300 responden perempuan di 8 kota besar di Indonesia, SES A-D, Usia 16-50 tahun, yang dilakukan bulan Mei - Juni 2010 oleh MarkPlus Insight berkerjasama dengan Komunitas Marketeers.

Tulisan 37 dari 100 dalam rangka MarkPlus Conference 2011 “Grow With the Next Marketing” Jakarta, 16 Desember 2010, yang juga didukung oleh Kompas.com dan www.the-marketeers.com

Tidak ada komentar: