Selasa, 19 Januari 2010

MUI Dorong Umat Islam Dirikan TV

Tidak saja mendesak memiliki stasiun TV, bahkan seharusnya umat Islam sudah sejak lama memiliki TV

Hasil pertemuan MUI Se-Sumatera yang menginginkan agar Majelis Ulama Indonedia (MUI) Pusat mendirikan sebuah stasiun TV dinilai sangat tepat oleh salah satu Ketua MUI KH. Cholil Ridwan. Dia menegaskan wacana TV untuk umat Islam ini telah lama didiskusikan.


“Kita tidak saja mendesak untuk memiliki stasiun TV, bahkan kita telah terlambat memilikinya. Seharusnya TV ini sudah ada sejak lama,” tegasnya kepada hidayatullah.com, saat ditemui di kampus Pesantren Husnayain Jakarta Timur.

Menurut Cholil, MUI terhitung terlambat mengusulkan ini, sebab jika dihitung umat Islam yang mayoritas, seharusnya telah memiliki stasiun TV sejak lama.

“Umat Islam hingga saat ini masih belum punya. Padahal dari segi kuantitas di Indonesia kita mayoritas, tetapi faktanya dalam hal-hal yang sifatnya strategis untuk pencerdasan umat seperti stasiun TV ini, kita selalu ketinggalan,” imbuhnya.

“Rencana pendirian TV untuk umat Islam ini telah lama dibicarakan. Akan tetapi setelah melihat historis terbentuknya, tujuan dan fungsi MUI itu sendiri, maka pendiriann TV oleh MUI dinilai kurang pas. Akhirnya setelah melalui diskusi panjang, diputuskan bahwa MUI hanya bisa membackup, mendorong, dan memfasilitasi umat Islam yang ingin merealisasikan ide itu,” tambahnya.

Lebih lanjut dia menegaskan bahwa MUI tidak bisa langsung terjun dalam ranah-ranah eksekusi, seperti harus mendirikan TV, berdakwah secara praktis, dan lain-lain. MUI hanya bisa mendorong dan mengembangkan ide-ide strategis yang dibutuhkan untuk pembinaan dan pencerdasan umat Islam.

Selain itu disebutkan pula bahwa mendirikan TV bukan langkah yang mudah, sekalipun bukan tidak mungkin untuk diwujudkan.

“Mau mendirikan TV itu mudah, tinggal melengkapi persyaratan izinnya. Namun kita sering kewalahan ketika harus mengembangkannya,” jelasnya.

Bagi Cholil, TV merupakan unit usaha yang tentu tidak bisa beroperasi tanpa dukungan materi yang memadai. Pendirian TV bisa terlaksana jika elemen strategis dalam masyarakat Muslim memiliki satu kesepakatan bersama bahwa TV ini perlu untuk didirikan.

Hal semacam ini tentu tidak bisa dilimpahkan secara mutlak kepada MUI. Perlu ada sinergitas umat. Oleh karena itu, Cholil memberikan peluang kepada ormas Islam untuk duduk bersama merespon usulan hasil pertemuan MUI Se-Sumatera. Sebab dengan kebersamaan ormas Islam, sesuatu yang berat dapat menjadi ringan karena problem besar itu dipikul secara bersama-sama.

Sebagaimana diketahui, beberapa hari lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Se-Sumatera mengusulkan kepada MUI Pusat untuk mendirikan stasiun televisi bernuansa religius untuk mengantisipasi perkembangan media elektronik yang dapat merusak akidah moral Islam.

Salah satu hasil rumusan silaturahim umat Islam Se-Sumatera yang berakhir di Asrama Haji Medan kala itu, MUI Sumatera juga meminta kepada pemerintah c/q KPI untuk melarang siaran televisi yang menyiarkan pornografi, pornoaksi, maupun siaran yang merusak akidah dan siaran infortainment menyebar fitnah.

Usulan pendirian TV itu ditandatangani 7 Ketua MUI, yakni Prof Dr H Wajul Walidin Ak MA (NAD), Prof Dr H Mohd. Hatta (Medan), Prof Dr Hj Hayati Nizar (Sumbar), Mahfuzah Ismail S.Ag (Riau), H Mohd Ali AR (Kepri) dan H Abrar Zym S.Ag (NAD), serta Ketua Tim Perumus Dr H Maratua Simanjuntak didampingi sekretaris Drs H Syuaibun M.Hum. [mam/www.hidayatullah.com]

Selasa, 12 Januari 2010

Mau Pintar..? Perhatikan Guru Mengajar..!

Untuk menguasai pelajaran yang ada di sekolah sebenarnya tidaklah sesulit yang kamu pikirkan. Kamu tidak perlu terlalu banyak belajar, ataupun sering-sering mengulang dan mengulang apa yang bapak/ibu guru ajarkan. Kamu tidak perlu terkurung oleh “jam belajar” ataupun kegiatan-kegiatan yang justru akan membuat kamu tidak nyaman.

Berdasarkan pengalaman saya, cara paling efektif untuk menguasai pelajaran di sekolah adalah:


* Perhatikan guru mengajar,
* Berusaha pahami apa yang bapak/ibu guru ajarkan saat di sekolah,
* Tanya jika kurang jelas,tidak perlu malu… Biarlah teman-teman menertawakanmu sekarang, tapi pada akhirnya kamu sendiri yang akan tertawa dengan keberhasilanmu…
* Kerjakan tugas atau ujian sendiri, dengan kemampuanmu sendiri… percayalah kepada kemampuanmu sendiri, tidak perlu nyontek. Walaupun nilaimu jelek, tapi kamu akan merasa bangga dengan hasil pikiranmu sendiri dan akan tumbuh semangat untuk memperbaikinya (itu kalo yang punya semangat tinggi sih… :) )
* PR dari guru adalah salah satu cara mengingatkanmu kembali pelajaran yang sudah diberikan, maka kerjakanlah dengan senyuman.. :)

Sebenarnya kecerdasan ataupun cara seseorang mengatasi masalah akan tumbuh dengan sendirinya ketika seseorang banyak menemui masalah. Dalam hal belajar-mengajar, “masalah” yang dimaksud adalah: TUGAS, PR, UJIAN maupun sekedar “TANYA-JAWAB” saat proses belajar-mengajar. Jika kalian para siswa suka bergelut dengan “masalah” tersebut, hampir dipastikan kalian akan dengan mudah menguasai pelajaran sekolah, namun jika kalian sudah “benci sebelum beraksi“, silakan perbaiki diri karena itu akan menjadi duri bagi diri kalian sendiri. Jadi… banyak-banyaklah menemui “masalah“, contohnya dengan suka mengerjakan soal-soal.

Metode belajar ala sekolah+orang tua kadang juga membuat siswa terlalu tertekan. Dalam kondisi yang tertekan, tentu apa yang siswa pelajari akan kurang maksimal. Saya kira, yang perlu ditekankan kepada siswa “semangat” yang tinggi dengan kondisi yang “santai“.

Sabtu, 26 Desember 2009

Kiamat 2012 Hanya "Pseudoscience"

Kamis, 10 Desember 2009 | 21:07 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com — Masyarakat tidak perlu terpancing dengan isu kiamat 2012. Sebab, berdasarkan kajian ilmiah, isu ini tidak memiliki dasar sains. Fenomena alam yang mungkin saja terjadi pada tahun itu adalah badai matahari.

"Isu kiamat 2012 adalah pseudoscience (tidak mengikuti metode ilmiah). Ada yang mengaitkannya dengan kemunculan Planet Nibiru, ada juga komet besar, yang secara astronomi sebetulnya tidak eksis," kata Thomas Djamaluddin, profesor astronomi-astrofisik dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di dalam acara Press Tour, Kamis (10/12/2009).


Lebih lanjut, ia menjelaskan, satu-satunya kemungkinan bencana alam akibat kondisi antariksa pada tahun 2012 itu adalah badai antariksa yang dipicu badai matahari. "Tetapi, kita pun tidak perlu khawatir juga. Belum tentu badai yang terjadi bisa mengarah langsung ke Bumi. Karena, Bumi kan terus berputar," tuturnya.

Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan, Sri Kaloka, yang ikut hadir menjelaskan kepada wartawan bahwa isu kiamat 2012 berangkat pada mitos ramalan kalender Suku Maya. Namun, ia membenarkan kemungkinan terjadinya badai matahari yang besar pada tahun itu.

Puncak aktivitas matahari yang kini ada di siklus 24 ini awalnya diperkirakan terjadi pada 2012. Namun, kemudian bergeser pada 2013 karena aktivitas matahari sekarang masih minim. "Tetapi, karena ini terkait dengan statistik, masih terjadi perdebatan," ucapnya.

Ia menjelaskan, puncak siklus matahari yang ditandai dengan banyaknya bintik hitam di permukaan matahari dapat memicu kemunculan lidah-lidah api (corona mass ejection) yang membawa partikel-partikel berenergi tinggi. Jika sampai ke Bumi, partikel ini dapat mengganggu magnetosfer hingga ionosfer di Bumi.

Dampaknya dapat merusak satelit, alat komunikasi, dan kelistrikan di Bumi. Lontaran partikel miliaran ton juga bisa memengaruhi pola medan magnet di Bumi. "Ada makalah di Jerman yang menyebutkan bahwa burung-burung dara terganggu karena mereka memiliki navigasi yang terkait medan magnet di Bumi," paparnya.

Kasus konkret akibat pengaruh badai matahari terjadi pada tahun 2003. Ketika itu, banyak satelit yang kehilangan kontak dan tidak berfungsi. "Ketika itu Lapan juga mencatat terjadinya penurunan fungsi telekomunikasi di Tanah Air. Gelombang radio tinggi pun putus," ungkap Thomas kemudian.

Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lapan Clara Yono Yatini menambahkan, aktivitas yang unik pada matahari kerap menjadi bahan yang menarik untuk film sains fiksi. Sebagai contoh mengenai materi neutrinos dari matahari yang di film 2012 menjadi sumber petaka.

Ditemukan Planet Serupa Bumi yang Memiliki Air

Kamis, 17 Desember 2009 | 13:53 WIB

PARIS, KOMPAS.com — Para astronom telah menemukan sebuah planet serupa Bumi yang mayoritas permukaannya tertutup air. Planet itu berukuran lebih besar dengan radius 2,7 kali radius Bumi. Demikian diungkapkan dalam penelitian yang dipublikasikan dalam journal ilmiah Nature, Rabu (16/12/2009).

Planet yang kemudian disebut "Bumi Super" itu berada sejauh 42 tahun cahaya di sistem tata surya lain. Adapun satu tahun cahaya adalah jarak yang bisa ditempuh cahaya dalam setahun atau sekitar 9.460.730.472.580.800 kilometer.



Penemuan planet GJ 1214b itu merupakan langkah maju dalam usaha pencarian planet lain yang mirip Bumi. Demikian dikatakan Geoffrey Marcy, peneliti dari Universitas California. Meski begitu, menurut penelitian di Pusat Astrofisika Harvard-Smithsonian, planet yang baru ditemukan itu terlalu panas untuk bisa mendukung kehidupan.

"Kepadatannya menunjukkan bahwa, meski tiga perempat bagiannya ditutupi air dan seperempatnya batuan, ada petunjuk bahwa planet itu memiliki atmosfer penuh gas," demikian dituliskan di laporan Nature. Suhu di sana diperkirakan antara 120 dan 280 derajat celsius, walau bintang di pusatnya memilki ukuran sekitar seperlima Matahari kita. Planet "Bumi Super" itu mengelilingi bintangnya yang kecil dan redup tiap 38 jam.

Bila disejajarkan dengan planet luar atau exoplanet lain yang juga mirip Bumi, planet ini berukuran lebih kecil, lebih dingin, dan paling mirip dengan Bumi. Exoplanet adalah planet yang berada di luar sistem tata surya kita.

Mengenai keberadaan air di sana, disebutkan bahwa air itu kemungkinan berbentuk kristal yang terjadi akibat tekanan 20.000 kali lebih besar dibanding tekanan di atas permukaan laut Bumi.

Dibanding planet temuan lain, misalnya CoRoT-7b yang mengelilingi sebuah bintang amat panas, planet baru ini relatif jauh lebih dingin. CoRoT-7b memiliki kepadatan mendekati Bumi (5,5 gram per sentimeter kubik) dan sepertinya berbatu, sementara GJ 1214b sepertinya hanya memiliki kepadatan 1,9 per sentimeter kubik. Menurut peneliti, mengingat kepadatan planet yang sedemikian rendah, pasti ada air dalam jumlah besar di sana.

Buku-buku Ini Dilarang!

Sabtu, 26 Desember 2009 | 08:03 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah berbulan-bulan membahas, Kejaksaan Agung akhirnya resmi melarang lima buku.

Lima buku itu adalah Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (ditulis John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise), Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (ditulis Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi).


Pelarangan buku itu termasuk dalam kinerja Bidang Intelijen Kejaksaan Agung selama tahun 2009. Jaksa Agung Muda Pembinaan Iskamto—yang sebelumnya menjabat Jaksa Agung Muda Intelijen—memaparkan hal itu dalam jumpa pers di Sasana Pradana Kejaksaan Agung, Rabu lalu. Jaksa Agung Hendarman Supandji hadir dalam jumpa pers itu.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto yang dihubungi pada Kamis (24/12/2009) menjelaskan, larangan terbit terhadap lima judul buku tersebut ditujukan kepada penerbit. Penerbit tidak boleh lagi menerbitkan dan mengedarkan buku-buku itu. ”Kalau yang sudah beredar, kami minta kepada penerbit agar ditarik,” katanya.

Menurut Didiek, buku-buku tersebut dilarang karena melanggar ketertiban umum. Substansi buku dinilai tidak sesuai dengan aturan. Namun, ketertiban umum yang mana yang dilanggar buku-buku itu, Didiek tidak menjelaskan.

Bukankah masyarakat berhak memperoleh informasi yang luas dan bebas? ”Bebas, tetapi tidak sebebas-bebasnya. Bebas, tetapi terkendali. Ada aturan menjaga ketertiban,” katanya.

Buku-buku itu sudah diteliti dalam tim penyeleksian (clearing house) Kejaksaan Agung sejak Mei 2009. Hal itu disebutkan pada rapat kerja Jaksa Agung dengan Komisi III DPR pada 11 Mei 2009.

Pelarangan itu menimbulkan pertanyaan, bahkan kritik. Di antaranya dari Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid. Dia berpendapat, model pelarangan buku semacam itu mestinya dihindari. Informasi bagi publik mestinya dibuka seluas-luasnya.

The First Women in Antarctica

Saturday, 26 December 2009 | 9:17 AM

KOMPAS.com - In the spring of 1969, Terry Tickhill Terrell was 19 and an undergraduate chemistry major at Ohio State University, bored with her lab work and restless. She had never traveled more than 250 miles from the Barnesville, Ohio farm where she grew up. One day, after reading an article in the school newspaper about a graduate student who had just returned from Antarctica, Terrell decided that that was where she wanted to go.

"I couldn't understand why all this awful lab work was important," Terrell said. "So I walked into the Polar Studies office and said: 'I want a job in Antarctica.' The room fell dead silent. The secretary took pity on me and said: 'There's a group of women going this year. Dr. Lois Jones is in her office right now, and I'll call her."'


The secretary was referring to geochemist Lois Jones, the leader of the four-woman Ohio State team scheduled to leave in October for four months in Antarctica. Terrell wanted to be a part of it.

"Dr. Jones said, 'We have everyone we need, but tell me about yourself,"' Terrell recalled. "I said, 'I'm a chemistry major. I grew up on a farm. I am a hard worker.' She asked if I'd done any camping. I said, 'I'm an outdoor person, and took outdoor cookery at 4H.' The next day she called me up and said: 'One of the ladies is unable to go. I need a cook and field assistant."'

In addition to Terrell and Jones - who passed away in 2000 - the team also included Kay Lindsay and geologist Eileen McSaveney. McSaveney, the other surviving member of the group, had graduated from the University of Buffalo and came to Ohio State for graduate work in landscape changes and glacial geology.

"One day, Lois asked me if I would be interested in going to Antarctica as one of her field assistants," McSaveney said. "I said yes without any hesitation - many fellow geology grad students were involved in polar work. Also, my fiancé, Mauri, had already been to Antarctica that year. Going to the Antarctic didn't seem an unusual thing to do."

At the time, neither woman thought much about the fact that their forthcoming journey would mark the triumphant end to a decade-long struggle. Until then, no one could convince the U.S. Navy to rescind its long-standing policy against transporting women onto the Antarctic continent.

The Navy, which had established McMurdo Station, the main American base in Antarctica, as a military outpost in 1956, had been adamant in its refusal to allow women there. Moreover, the National Science Foundation, which funded the program, did not challenge the Navy's position.

"The US Navy was in charge of field operations and they regarded Antarctica as a male-only bastion," McSaveney said. "Eventually they agreed to allow women to go, but specified an all-female field team."

Now, as we celebrate the 40th anniversary of that pioneering expedition, about a third of Antarctic scientists are women. Hundreds of women have worked in the program, some of them leading research stations and heading major expeditions. More than 50 are working at the South Pole during the 2009-2010 summer season.

Yet in 1969, the pole was unexplored territory for American women. "When I told my parents where I was going, my father was ecstatic," Terrell said. "My mother was convinced I would kill myself. But to me, everything was a wonderful adventure."

The team soon left for snow school, where the women, "learned how not to fall into a bottomless crevasse, and how to make snow caves and use an ice axe," Terrell recalled. "I wasn't scared, I was excited. Besides, we were going to the Dry Valleys. There were no crevasses there." The McMurdo Dry Valleys region is one of the few areas of Antarctica not covered by thousands of meters of ice.

"An elementary school had sent us some curtains to use in Antarctica," remembered McSaveney. "They weren't terribly useful, but we did string them on the outside our tents, and photograph them. We sent the photos back to the class. Years later, I did several talks, which I called: 'The Only Tent with Curtains in the Antarctic."'

"We spent our days breaking rocks and hauling heavy backpacks full of rocks to send back for chemical analysis," Terrell said. "The wind blew all the time, and there was sand in our boots, sand in our clothes and sand in our food. There was sand in everything. We had oatmeal for breakfast every morning - not because we liked it, but because it was the only thing that was edible with sand in it." Terrell, a tall, strong broad-shouldered woman, never considered the physical differences between genders as she did work at the research sites. "On a farm, milking cows is not men's work or women's work, it's the work of whoever can do it," she said.

When a helicopter eventually came to pick up the women and their rock specimens and bring them back to the Dry Valleys, stereotypes once again were shattered. "One closed box was loaded with rocks," recalled McSaveney. "Terry picked it up and started lugging it toward the helicopter. One of the crew members immediately rushed up and said 'Let me take that,' and grabbed it. He sank to his knees. I don't think his fellow crew members ever let him forget that." For the most part, the project went on as planned, and everyone got along. As Terrell pointed out, "Do you know many women who have fist fights?"

There were a few frightening experiences, however, including a helicopter crash that occurred after a bolt holding one of the propeller blades blew off, causing the blades to separate from the aircraft. The craft had just taken off.

"All of a sudden we heard what sounded like a rifle shot and the helicopter started falling out of the sky," Terrell said. "You know how young people feel immortal? In that one moment, I ceased being immortal."

Everyone survived, and interestingly, "we, the ladies, knew how to set up the survival equipment and the guys did not," Terrell said. "They did not pay attention in snow school. We'd started melting ice and making a meal by the time the rescue helicopter came."

Despite initial resistance to the idea of women in Antarctica, the Navy later sponsored a media event at the South Pole station, a location where women had never been. A ski-equipped LC-130 flew six women researchers there on Nov. 12, 1969. They included the four members of Jones' team; Pam Young, a biologist doing research with the New Zealand Antarctic program; and Jean Pearson, a science writer for the Detroit Free Press.

All six linked arms and stepped off the airplane's cargo ramp onto the ice together - so they all would be first. "Getting to the South Pole by climbing on and off an airplane hardly rivals the daring of the early explorers who walked there," McSaveney said. "Nevertheless, it was, of course, a great honor."

Ultimately, Terrell earned a doctorate in ecology and enjoyed a long career as an aquatic ecologist with the U.S. Fish and Wildlife Service. Retired in 2006, she now plans to earn a Masters degree in fine arts and quilting history. "It's time to stimulate the other half of my brain," she said. She has never been back to Antarctica, although it was "the most exciting, interesting place I'd ever been in my entire life."

Two years after her first trip, McSaveney returned to Antarctica for three months as a field assistant for her husband, Mauri, who was studying glacier movement. McSaveney, an American, lives in Christchurch with her husband, who is from New Zealand. She has worked as a writer and editor, specializing in geology and geological history, landscapes, glaciers, and natural hazards such as earthquakes, volcanic eruptions, floods and tsunamis. She also has taught geology, evolution and climate change at the University of Canterbury, and at local high schools.

Jumat, 25 Desember 2009

Cara Makan Yang Lebarkan Pinggang

Senin, 21/12/2009 | 14:34 WIB

KOMPAS.com - Banyak diantara kita yang mengaku sudah menjalani aturan diet yang benar, tapi ternyata berat badan tidak pernah berhasil diturunkan. Dimanakah letak kesalahannya?

Elisa Zied, RD, juru bicara American Dietetic Association, bercerita kebanyakan dari kita justru tidak menyadari telah mensabotase program diet kita sendiri. Sabotase itu menurut Zied yang juga penulis Feed Your Family Right! justru kita lakukan ketika salah mempersepsikan program penurunan berat badan.



Contohnya :

Memotong kalori berlebihan. Memang benar, mengurangi total kalori setiap hari adalah cara untuk menurunkan berat badan. Tapi terlalu banyak kalori yang kita kurangi, justru membangunkan hormon yang mengirimkan sinyal lapar pada kepala kita. Hormon itu adalah ghrelin.

Cara lebih pintarnya adalah, gunakanlah rumus keseimbangan. Rumus seimbang adalah, tidak pernah melewatkan sarapan dan mengurangi porsi makan malam. Saat kita makan berlebihan di malam hari, sarapan menjadi jadwal makan yang kita lewati yang kemudian pada waktu makan siang tiba, kita makan berlebihan.

Menu sarapan yang aman adalah, 450 kalori setiap pagi seperti roti gandum isi telur dan keju rendah lemak yang didampingi dengan segelas jus buah. “Menu ini akan menjaga kita hingga makan siang,” ucap George L. Blackburn, MD, PhD, dari divisi Nutrisi Harvard Medical School dan penulis buku Break Through Your Set Point. Menurut Blackburn, saat kita bisa melakukan manajemen nafsu makan maka kita akan makan dalam porsi yang sama di setiap jadwal makan.

Waktu makan tidak teratur. Berdasarkan penelitian yang diumumkan dalam American Journal of Clinical Nutrition, saat kita makan tidak teratur maka kita tidak akan pernah menyusutkan berat badan meskipun porsi makan kita sudah benar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2005 lalu, perempuan yang makan di jam-jam yang sama setiap harinya, ternyata mampu membakar lebih banyak kalori. Ini membuat produksi insulin berkurang yang artinya menyelamatkan diri dari risiko resistensi insulin yang dapat menyebabkan obesitas dan diabetes.

Cara lebih pintarnya adalah, coba hitung berapa kali dalam sehari kita makan, mulai dari makan utama hingga ke camilan-camilan kecil. Lalu catat, di jam-jam berapa saja kita lapar dan makanlah di jam-jam tersebut dengan teratur. Itu mengapa Zied menyarankan kita untuk memiliki catatan harian apa saja yang kita makan atau food diary. Catatan ini nantinya akan membentuk kesadaran kita untuk memilih makanan yang sehat dengan porsi yang sehat juga.

Memilah-milih menghitung kalori. Tanpa kita sadari, kita tidak menghitung kalori semua makanan yang kita makan. Misalnya ikan atau ayam. D. Milton Stokes, MPH, RD., dari Bowling Green State University, menjelaskan, bukan berarti jika makanan tersebut masuk dalam kategori makanan sehat maka kita tidak perlu menghitung kalorinya. Ini akan membuat kita mengubah makanan sehat menjadi tidak sehat, sebab kita makan secara berlebihan.

“Misalnya semangkuk almon, kalorinya sekitar 200 tapi ketika kita menambahnya dalam takaran yang berlebih maka tidak mungkin program penurunan berat badan kita sukses. Cara lebih pintarnya adalah, hitunglah kalori yang kita makan. Sekalipun makanan kita hanyalah ½ mangkuk sereal dan ingat untuk tidak makannya secara berlebihan!

Membuat target untuk jangka pendek. National Weight Control Registry mengestimasi, hanya 20 persen dari pelaku program diet yang berhasil menjaga bobot idealnya selama setahun lebih. Sebabnya, setelah mereka berhasil mencapai target berat badan yang diinginkan, mereka kembali pada kebiasaan makan yang salah. Tapi bagi pelaku program diet yang menetapkan target secara gradual atau perlahan, mampu menjaga timbangan badan tetap ideal dari tahun ke tahun.

Cara lebih pintarnya adalah, awalilah dengan perubahan kecil yang mengantar kita pada keberhasilan kecil. Setelah itu, berikan kepercayaan pada diri untuk mencapai target yang lebih besar. Dengan begitu, resolusi hidup sehat kita tidak hanya bertahan satu tahun tapi selama-lamanya sebab kita telah menjadikannya sebagai gaya hidup.

Jangan terpesona dengan label rendah lemak. Cornell University melakukan penelitian kecil-kecilan dengan cara menyediakan 2 jenis cokelat pada acara open house universitas tersebut. Pertama, cokelat tanpa label rendah lemak dan kedua diberi label. Hasilnya, 28 persen dari pengunjung memilih yang berlabel rendah lemak. Tapi mereka tidak cukup mengonsumsinya sekali karena label rendah lemak telah menggoda mereka untuk mengambil beberapa bungkus cokelat.

Cara lebih pintarnya adalah, jangan hanya merasa puas dengan label. Tetap ingat untuk membatasi asupan makanan berlabel rendah lemak. (PreventionIndonesia.co.id/Siagian Priska)