Jumat, 05 Agustus 2016

Guru bagi Anak-anak Pedalaman

Berbekal pendidikan setara SMP dan pengalaman hidup, Suparjo (36) mengabdikan diri sebagai guru bagi anak-anak di pedalaman Kalimantan Barat yang tak memiliki akses pada pendidikan. Keinginannya sederhana saja: anak-anak di pedalaman setidaknya bisa membaca, menulis, dan berhitung demi masa depan yang lebih baik.




Dusun Kuningan, Desa Sempatung, Kecamatan Air Besar, terletak sekitar 70 kilometer dari kota Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Tidak mudah mencapai dusun itu karena jalan menuju ke sana dipenuhi lubang dan kubangan lumpur. Selain itu, jalan diwarnai tanjakan curam dengan kemiringan 40-80 derajat. Di sekitar tanjakan terdapat jurang-jurang yang dalam.
Dengan kondisi seperti itu, dusun tersebut nyaris tak tersentuh pembangunan. Padahal, dulu masyarakat di daerah itu berperan besar dalam membantu penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) sekitar 1968-1974. Mereka menjadi penunjuk jalan bagi TNI di sepanjang hutan dan membawakan amunisi.
Setelah operasi penumpasan selesai, warga dusun lantas terlupakan. Hingga pertengahan tahun 2000-an, tidak ada sekolah di dusun itu, bahkan sekadar sekolah dasar.

Suparjo termasuk warga Dusun Kuningan yang beruntung. Laki-laki kelahiran tahun 1980 itu pernah menempuh pendidikan SD dan menyelesaikan program Paket B atau pendidikan setara SMP. Untuk ukuran Dusun Kuningan, bisa mencecap pendidikan setingkat SMP sudah termasuk kemewahan.
Meski demikian, ”kemewahan” itu didapat Suparjo harus dengan perjuangan berat. Setiap hari pada pertengahan 1990-an, ia harus berjalan kaki meniti jalan setapak dan berbukit menuju SD terdekat.
Suparjo prihatin, anak-anak dusun generasi berikutnya tetap kesulitan untuk mengakses pendidikan karena ketiadaan sekolah. Ia pun akhirnya memutuskan untuk membagi ilmunya yang cuma sedikit kepada anak-anak Dusun Kuningan.
Pada 2005, bersama warga dusun lainnya, ia mendirikan bilik bambu berukuran sekitar 3 meter x 4 meter di salah satu sudut kampung. Di bilik sederhana yang atapnya kerap bocor saat hujan turun itu, Suparjo mengajar tujuh anak dusun membaca, menulis, dan berhitung.
”Hanya pengetahuan itu yang bisa saya ajarkan kepada mereka. Saya tidak punya pengetahuan lebih. Saya hanya bisa membagikan ilmu yang telah saya dapatkan selama menempuh pendidikan SD dan Paket B,” ujar Suparjo saat ditemui di Dusun Kuningan, Sabtu (18/6) malam.
Kegiatan mengajar di bilik bambu itu dilakukan sekitar dua tahun. Setelah itu, pada 2008 pemerintah mendirikan SD mini di Dusun Kuningan dengan tiga ruang kelas. SD itu kini bernama SDN 34 Kuningan.
Tiga ruangan itu dipakai untuk siswa kelas I hingga kelas VI. Siswa masuk bergiliran. Siswa kelas I hingga III belajar dari pukul 07.00 hingga sekitar pukul 11.00. Setelah itu giliran siswa kelas IV hingga VI masuk hingga menjelang sore.
Menggantikan guru




Setelah SD berdiri di Kuningan, masyarakat berpikir bahwa persoalan akses pendidikan dasar untuk anak-anak dusun bisa diselesaikan. Apalagi, pemerintah menempatkan tiga guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di sekolah tersebut. Nyatanya, persoalan jauh dari usai.
Guru-guru dari luar dusun itu ternyata hanya mengajar sekali sebulan. Bahkan, terkadang mereka masuk saat mendekati ujian semester. Tak pelak, proses belajar-mengajar tidak bisa berjalan. Padahal, anak-anak dusun memiliki kemauan keras untuk sekolah.
Suparjo kembali turun tangan mengisi kekosongan guru. Ia mengajar anak-anak dusun dari kelas I hingga kelas VI setiap hari saat menggantikan guru resmi yang tidak hadir. ”Saya pernah mengajar dari pagi sampai malam sebanyak enam kelas. Saya juga memberikan les tambahan untuk siswa kelas VI yang akan mengikuti ujian nasional,” ujarnya.
Kehadiran Suparjo sangat membantu siswa. Anak-anak kelas VI yang mendapat les tambahan, misalnya, lulus 100 persen dari UN.
Suparjo senang melihat anak-anak maju. Itu sebabnya, ia terus mengajar meski tidak ada yang membayar, termasuk pihak sekolah atau pemerintah. Beberapa orangtua murid kadang memberinya uang atau beras untuk membantu Suparjo yang meninggalkan kebun kakao dan lada demi mengajar anak-anak di dusunnya.
Sebenarnya, ia bisa saja menghabiskan waktu untuk mengurus kebun lada dan kakao. Dengan begitu, di musim panen, ia bisa mendapat uang puluhan juta rupiah dari penjualan lada dan kakao ke perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong, Kabupaten Sanggau. Namun, ia memilih untuk mendidik anak-anak.
”Kebun lebih banyak diurus keluarga. Saya lebih fokus menyiapkan bahan mengajar. Yah, meski yang saja ajarkan kepada anak-anak hitungan dasar, saya tetap harus mempersiapkan diri,” katanya.
”Sekalipun saya bukan PNS atau guru pada umumnya, saya harus bertanggung jawab dengan pendidikan di sini,” tambahnya.
Disepelekan
Selama menjadi relawan guru, tidak hanya hal menyenangkan yang diperoleh Suparjo. Ia juga kadang harus menghadapi kenyataan menyakitkan, misalnya, ada orangtua yang memandang Suparjo sebelah mata lantaran ia hanya berpendidikan kejar Paket B. Orangtua khawatir, dengan pendidikan seperti itu, Suparjo tidak akan bisa mengajar anak-anak mereka.
Namun, Suparjo tidak menggubrisnya. Ia menganggap sikap seperti itu sebagai kerikil-kerikil kecil. Ia mengemukakan, ”Niat saya hanya satu, masa depan anak-anak di dusun bisa lebih baik sama seperti anak-anak Indonesia di pulau lainnya yang sudah lebih maju, memiliki sekolah dengan ruang kelas yang lengkap, guru-guru yang profesional, dan berbagai bantuan pendidikan dari negara.”

Tidak ada komentar: