Sabtu, 21 September 2013
BPK: Serahkan Penyelenggaraan UN ke Daerah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyerahkan teknis penyelenggaraan ujian nasional (UN) kepada pemerintah provinsi. Pemerintah pusat, menurut BPK, sebaiknya hanya melakukan perencanaan, koordinasi, pemonitoran, supervisi, dan evaluasi UN."Dalam penyelenggaraan UN, pemerintah provinsi bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat," kata anggota BPK Rizal Djalil saat menyampaikan hasil audit penyelenggaraan UN tahun 2012 dan 2013 di Kantor BPK di Jakarta, Kamis (19/9/2013).
BPK berinisiatif melakukan audit setelah penyelenggaraan UN tahun 2013 kacau. Saat itu, terjadi kekisruhan setelah pelaksaan UN di 11 provinsi terlambat akibat belum siapnya bahan.
Rizal mengatakan, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya kelemahan dalam perencanaan UN. Contohnya, tidak diantisipasinya perubahan jumlah varian soal dari lima varian di tahun 2012 menjadi 20 varian di 2013.
Selain itu, tambah dia, tidak diperhitungkannya rentang waktu yang diperlukan untuk melakukan pencetakan dan distribusi naskah soal UN ke lokasi pelaksanaan UN yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pengawasan juga tidak optimal dalam pemberian peringatan dini terhadap keterlambatan pencetakan dan distribusi naskah. Kondisi mengakibatkan kekisruhan di 11 Provinsi.
"Akibatnya, ada tambahan biaya fotokopi UN dan lembar jawaban UN, biaya pengawasan, serta terlambatnya proses pemindaian dan scoring hasil UN," ujar Rizal.
Selain dalam perencanaan, BPK juga melihat belum optimalnya koordinasi antara Badan Nasional Standardisasi Pendidikan, Kemendikbud, dan Pemda. Akibatnya, ditemukan adanya duplikasi anggaran APBN dan APBD dalam kegiatan yang sama mencapai Rp 62,2 miliar.
Hasil audit BPK lainnya, ditemukan kerugian keuangan negara sekitar Rp 8,15 miliar dalam proses lelang pencetakan UN tahun 2012. Adapun lelang 2013, potensi kerugian negaranya mencapai Rp 6,3 miliar.
Terkait penyelengaraan UN 2012 dan 2013, ditemukan kerugian negara sebesar Rp 2,66 miliar. Modus penyimpangannya, yakni pemotongan belanja, kegiatan fiktif, dan penggelembungan harga.
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar