Senin, 08 April 2013
IQ Bukan Satu-satunya Penentu Kesuksesan
Berapa IQ Anda? Seberapa penting ukuran IQ ini bagi Anda?
Sebuah perusahaan mengandalkan “kecerdasan” atau IQ karyawan sebagai persyaratan kaku dalam proses promosi. Seorang supervisor harus punya IQ minimal tertentu, dan untuk menjadi manager IQ-nya harus lebih tinggi lagi. Beberapa atasan protes, sebab melihat kenyataan di lapangan yang tidak selalu relevan dengan ukuran IQ tadi.
Sementara pembuat kebijakan tetap pada prinsip bahwa para calon eksekutif yang dituntut melakukan problem solving dan menyusun strategi memang perlu ber-IQ tinggi. Para pembuat kebijakan ini berkomentar, “Bila tidak ber-IQ tinggi, nanti top manajemen kita hanya terdiri dari orang-orang yang terlalu operasional”.
Di zaman modern ini, di mana tuntutan kompetensi makin beragam, kita terus bertanya-tanya, seberapa tinggi sebetulnya korelasi IQ dengan kemampuan membuat strategi perusahaan, problem solving dan kreativitas?
Banyak orang berpikir bahwa individu dengan IQ tinggi adalah orang yang smart. Meskipun ada yang terlihat culun dan telmi alias “telat mikir”, namun angka IQ tinggi kerap membuatnya tetap dianggap “smart” oleh lingkungan sekitar.
Pertanyaannya, apakah orang seperti ini bisa menjamin pengambilan keputusan yang benar-benar “cemerlang”, jago melakukan inovasi dan terobosan? Apakah individu seperti ini bisa masuk dalam suasana berpikir yang membutuhkan common sense dan streetsmartness yang merupakan hal kritikal, terutama di level manajemen atas? Mungkin ini sebabnya orang sering bersikap skeptis mengenai IQ?
Pengukuran IQ tentu tidak salah, penggunaannya sebagai parameter juga tidak salah. Berbagai riset jelas menunjukkan IQ punya peran signifikan terhadap kinerja individu di tempat kerja. Namun demikian, kita memang perlu berhati-hati dalam melakukan interpretasinya. IQ mengukur kemampuan general untuk memecahkan masalah.
Namun, kemampuan kognitif yang dibutuhkan di tempat kerja, tidak sekadar kemampuan general saja. Di tempat kerja, justru pencarian dan perolehan informasi baru, mengambil pelajaran dari kegagalan, menemukan jalan keluar unik, serta kreativitas menciptakan terobosanlah yang semakin menjadi hal kritikal. Di sini kita segera melihat ada batasan kemampuan yang diukur IQ, karena untuk melakukan itu semua, individu perlu mengerahkan kemampuannya secara menyeluruh.
Dunia kerja kita sekarang menuntut individu menunjukkan kemampuan untuk melepaskan diri dari kekakuan rumus-rumus, logika statis, dan juga mempersyaratkan "think outside the box”. Artinya, cara individu memproses inteligensinya juga berpengaruh terhadap kinerja kognitifnya. Itu sebabnya, jangan heran bila sebuah studi terhadap para pimpinan perusahaan menemukan angka IQ mereka tidak hebat-hebat amat, sementara para direksi ini nyata-nyata berkinerja sangat cemerlang.
Jadi, memanfaatkan pengukuran IQ saja sebagai satu-satunya penentu keberhasilan kinerja kognitif memang perlu kita tinjau kembali, karena ternyata dalam perkembangannya orang bisa meningkatkan kemampuan berpikirnya, dengan ukuran IQ yang tetap segitu saja.
Mengencerkan Inteligensi
Albert Einstein mengatakan bahwa individu perlu menajamkan instingnya, bila menginginkan hasil yang optimal. Jadi IQ dihidupkan dan dikembangkan, tidak bisa berkembang dengan sendirinya.
Dalam sejarah, kita pasti bisa menyaksikan betapa para jenius ini tidak henti-hentinya mencari informasi baru. Hal ini menyebabkan tidak sekadar mindset yang berubah, tetapi jumlah sambungan neuron dalam otakpun bertambah, karena ia perlu mengkaitkan informasi baru dengan yang sudah ada. Jadi orang dengan IQ "biasa" pun bisa dan harus mengadaptasi sikap “Be an "Einstein"’.
Orang yang berotak encer adalah orang yang dengan mudah menyerap informasi baru, menyusunnya di dalam memori, dan menggunakannya sebagai dasar pemecahan masalah terkini yang sedang ia hadapi. Hasil pengalaman ini kemudian digunakannya lagi untuk menghadapi masalah baru lagi.
Kegiatan mengencerkan inteligensi ini bisa dilatih. Di lingkungan kerja, di mana brainstorming dijadikan rutinitas dan dianggap penting, mau tidak mau orang bersiap untuk menerima dan mengolah informasi baru. Seperti latihan dalam olah aga, daya pikirpun bisa dilatih: “The more you train, the more you gain”. Untuk itu, kunjungilah pameran dan museum, bacalah penemuan penemuan science terbaru. Jadilah “knowledge junkie”.
Hal yang sering tidak kita kaitkan dengan kegiatan kognitif adalah kegiatan sosial. Media sosial seperti Twitter, Facebook, memungkinkan kita untuk terekspos dan mengenal orang lain. Pada saat berkomunikasi kita tentunya akan dihadapkan pada hal hal baru yang kita temukan di lingkungan sosial kita, sehingga mau tidak mau kita jadi terangsang untuk mengembangkan diri.
Sadar kognisi
Saya mengenal seseorang yang skor IQ-nya berada di bawah rata-rata, namun begitu keras hatinya. Setelah menamatkan kuliah S1-nya, ia mengambil kursus programmer perangkat lunak yang canggih dan paling laku, memperbaiki nilai TOEFL-nya, sehingga sekarang menjadi programer yang langka dan berupah besar, jauh dari teman-temannya yang paling tidak ber IQ rata-rata. Hal ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa kita memang tidak bisa sekadar mengandalkan angka IQ sebagai penentu kinerja kognitif seseorang.
Hal yang perlu kita waspadai adalah sikap mengistirahatkan otak atau malas berpikir. Meski punya IQ tinggi, namun bila tidak dilatih, akan membuat otak kita cepat berkarat. Contoh sederhana adalah sering kita mengetahui sesuatu tetapi lupa di mana kita bisa menggali memori kita. Jadi, kata atau nama itu seolah ada di ujung lidah tetapi tidak bisa diucapkan.
Ini tanda otak kita memerlukan alertness agar selalu bisa menyajikan memori yang tersimpan. Bila kita serius untuk menajamkan kemampuan kognitif kita, kita pun perlu berhati-hati dengan pemanjaan teknologi, misalnya penggunaan memori nomor telepon di ponsel yang menyebabkan kita tidak terbiasa menghapal nomer telepon lagi.
Selain itu, GPS yang semakin lama semakin friendly, menyebabkan kegiatan mapping di otak kita beristirahat. Perangkat lunak penerjemah, menyebabkan kita tidak berpikir keras untuk bertata bahasa yang baik, padahal bahasa adalah latihan otak yang sangat baik.
Kita perlu sadari bahwa orang yang berotak encer memiliki kebiasaan untuk terbuka dan mengosongkan pikirannya, sehingga ia semakin trampil mencari informasi. Sementara, orang yang mandeg, merasa nyaman-nyaman saja dan merasa sudah tahu segalanya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar