Jumat, 18 Maret 2011

Indonesia Bakal Kelebihan 300.000 Guru

DEPOK, KOMPAS.com — Pemetaan Kementerian Pendidikan Nasional menunjukkan jumlah guru di Indonesia mengalami kelebihan sekitar 300.000 guru. Hal tersebut dikatakan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh saat menggelar jumpa pers penutupan Rembuk Nasional Pendidikan 2011 di Depok, Jumat (18/3/2011).

"Kebutuhan guru kita jika dipetakan sampai 2014 itu lebih dari 300.000," kata Nuh kepada wartawan.

Pemetaan tersebut, lanjut Nuh, dilakukan melalui mekanisme yang ada pada saat ini. Jika diatur dengan komposisi 1 : 24 (1 guru mengajar 24 siswa), maka kelebihan tersebut bisa turun menjadi sekitar 180.000 guru.

Untuk itu, melalui program multigrade, guru bisa mengajar lebih dari satu pelajaran dan kelebihan jumlah guru bisa lebih diefisiensikan menjadi 40.000 guru.

"Dengan komposisi 1 : 24 itu, kelebihan guru bisa turun menjadi 180.000 guru. Jika diatur lagi kebutuhannya dengan multigrade, satu guru tidak hanya mengajar satu mata pelajaran, tetapi bisa dua atau tiga mata pelajaran yang sekelompok. Maka dar itu, kelebihan jumlah guru bisa turun hingga 40.000 orang," papar Nuh.

Nuh menambahkan, jika konsep multigrade tersebut dimanfaatkan dengan baik menggunakan penataan regulasi yang juga baik, bisa dibayangkan efisiensi yang dihasilkan. Karena dengan konsep itulah seorang guru Matematika, misalnya, bisa juga mengajar Fisika. Karena memang, setiap guru diberikan kewenangan mengajar sesuai kelompok pelajaran yang dikuasainya.

"Ada pelajaran mayor dan ada pelajaran minor. Mayornya tetap satu, tetapi minornya bisa dua atau lebih," ujar Nuh.

Ia mengatakan, konsep multigrade memungkinkan pemerintah menghemat hingga miliaran rupiah. Penghematan tersebut dapat digunakan untuk pengembangan guru, beasiswa, dan penambahan fasilitas.

Rabu, 16 Maret 2011

Sori, Jangan Lagi Sepelekan Indonesia!

JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia kerap dipandang sebelah mata saat dikaitkan dengan kemajuan pendidikan dan teknologi informasi. Produk perangkat lunak (software) pendidikan dari PT Pesona Edukasi, atau di dunia internasional dikenal sebagai AmazingEdu Software, menjadi salah satu dari tujuh finalis dalam kategori Secondary, FE and Skills Digital Content di malam penganugerahan British Education and Training Technology (BETT) Awards di London, Inggris, pada awal 2011. Hal ini mematahkan anggapan tersebut.

Lewat hadirnya AmazingEdu Software, Indonesia kini berkontribusi dalam kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan di dunia. Ray Barker, Direktur BESA yang juga Ketua Juri BETT Awards 2011, mengatakan, penghargaan BETT Awards yang digagas Inggris dan memasuki tahun penyelenggaraan ke-27 telah menjadi salah satu pameran dan penghargaan terbesar dunia bagi pemain-pemain di bidang industri teknologi informasi dan komunikasi pendidikan.

”Perusahaan-perusahaan yang diunggulkan dalam setiap kategori dinilai mampu memenuhi kebutuhan dunia pendidikan untuk meningkatkan proses pembelajaran di sekolah,” kata Barker.

Managing Director PT Pesona Edukasi Bambang Juwono mengatakan, pengakuan dunia di ajang BETT Awards menunjukkan bahwa Indonesia punya peluang besar untuk mengembangkan content.

”Tantangannya adalah bagaimana Indonesia bisa mendiversifikasi produk,” kata Bambang.

Momen pengakuan produk software sains dan Matematika di Indonesia dalam kegiatan bergengsi di dunia teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan semacam BETT Awards memacu PT Pesona Edukasi untuk lebih mengembangkan produknya. Pembelajaran Sains dan Matematika dengan animasi memang dirasakan manfaatnya bagi siswa, yakni mudah memahami pelajaran dan membantu guru untuk bisa mentransfer proses belajar secara menarik dan menyenangkan.

”Proses belajar sekarang sudah banyak tersentuh teknologi. Kita harus memanfaatkan teknologi untuk memudahkan pembelajaran. Kami akan mengembangkan produk yang juga memfasilitasi guru yang

Selasa, 15 Maret 2011

Akhirnya... Izin Baru RSBI Distop!

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah menghentikan pemberian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) mulai 2011. Pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010.

"Ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu, kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI. Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI," kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, dalam acara "Simposium Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan" yang dilaksanakan British Council di Jakarta, Rabu (9/3/2011).

Pemerintah juga sedang menyiapkan aturan baru soal standar SBI di Indonesia. Fasli mengatakan, dari kajian sementara, pendanaan RSBI sebagian besar ditanggung orangtua dan pemerintah pusat. Dukungan pendanaan dari pemerintah daerah justru minim.

RSBI pun sebagian besar siswanya dari kalangan kaya. Ini disebabkan biaya masuk untuk SMP dan SMA RSBI yang relatif mahal, berkisar Rp 15 juta dan uang sekolah sekitar Rp 450.000 per bulan.

Di sisi lain, alokasi 20 persen untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI. Dari kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50 persennya dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20 persen untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10 persen.

Adapun soal kemampuan bahasa Inggris guru juga masih belum memadai. Kajian pada tahun 2008, sekitar 50 persen guru di RSBI ada di level novice (10-250). Sementara untuk guru Matematika dan Sains kemampuan di level terendah notice dan elementary. Hanya kemampuan guru pengajar bahasa Inggris di RSBI yang memenuhi syarat di level intermediate ke atas. Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI sekitar 51 persen berada di level terendah.

Fasli mengatakan, SBI bukanlah tujuan akhir.

"Jadi, tidak ada target Indonesia mesti punya berapa banyak SBI. Kami memfasilitasi sekolah untuk jadi RSBI dan SBI karena itu amanat UU Sistem Pendidikan Nasional. Tetapi, tentu nanti dibuat aturannya yang lebih baik lagi," katanya. (ELN)

Jumat, 11 Maret 2011

Hasil Ujicoba Ujian Nasional, Rendah

MATARAM, KOMPAS.com - Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat H Ruslan Effendy mengakui hasil try out atau uji coba menjawab soal-soal mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional rendah.

"Hasilnya tidak sesuai harapan. Menurut para siswa, soal try out yang mereka jawab relatif sulit dan sebagian materi soal yang dijawab belum diajarkan guru karena proses pemberian materi pelajaran belum selesai," katanya di Mataram, Minggu (23/1/2011).

Hampir seluruh mata pelajaran nilainya di bawah standar nilai Ujian Nasional (UN) yakni 5,5, namun dari lima mata pelajaran, yang paling rendah nilainya terjadi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika.

Meskipun hasil uji coba belum sesuai harapan, Ruslan mengaku tidak terlalu khawatir karena uji coba menjawab soal-soal mata pelajaran tahap pertama terdapat materi pelajaran yang belum diberikan oleh guru.

"Kita akan lakukan uji coba lagi. Dari uji coba tahap kedua nanti, kita akan melihat perkembangannya. Saya optimis hasilnya lebih memuaskan dibandingkan uji coba tahap pertama yang digelar pada 21 Desember 2010," ujarnya.

Selain menggelar uji coba menjawab soal-soal yang diujikan dalam UN, pihaknya juga akan meningkatkan koordinasi dengan para kepala sekolah, guru dan pengawas pendidikan untuk meningkatkan kualitas UN di Kota Mataram.

Upaya sosialisasi tentang sistem pelaksanaan dan penilaian UN tahun ajaran 2010/2010 yang menggunakan format baru juga terus dilakukan di sekolah-sekolah.

Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para pelaku pendidikan tersebut, tingkat kelulusan UN di Kota Mataram pada 2011, diharapkan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.

"Jadi kita all out agar target kelulusan dan kualitas UN tahun ini lebih baik dari tahun lalu. Tentunya dengan tetap mengedepankan asas kejujuran," ujar Ruslan yang baru tiga hari dilantik menjadi Kepala Dinas Dikpora Kota Mataram.

Pelaksanaan UN tahun ajaran 2010/2011 akan berlangsung mulai April 2011, untuk SMA/MA dan SMK dijadwalkan 18-20 April 2011, SMP/Mts 25-28 April 2011 dan Ujian Akhir Sekolah Bertaraf Nasional (USBN) untuk sekolah dasar dijadwalkan 10-12 Mei 2011.

Untuk UN susulan bagi mereka yang belum mengikuti UN utama dilaksanakan satu minggu kemudian.

Sejak Awal, RSBI Memang Salah Konsep

AKARTA, KOMPAS.com — Pendirian rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) banyak melanggar panduan, misalnya kemampuan guru dalam berbahasa Inggris masih rendah, tetapi dipaksa mengajar dalam bahasa Inggris. Uang sekolah di RSBI juga sangat mahal sehingga menimbulkan diskriminasi pendidikan karena hanya siswa dari keluarga kaya yang sanggup membayar, sementara ketentuan kuota bagi siswa miskin banyak tak dipenuhi.

Demikian pokok persoalan yang mengemuka dalam simposium "Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan" yang diselenggarakan British Council di Jakarta, Kamis (10/3/2011).

Hywel Coleman, konsultan pendidikan dari British Council dan pengajar di Universitas Leeds, Inggris, mengatakan, RSBI salah konsep sejak awal. Mestinya Indonesia menyiapkan siswa berwawasan internasional dengan bangga terhadap budaya bangsanya.

"Bukan dengan mengubah cara penyampaian pelajaran menggunakan bahasa Inggris," kata Coleman.

Berdasarkan kajian serupa di Korea dan Thailand, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah ternyata tidak efektif sehingga kemudian ditinggalkan.

Satria Dharma, Ketua Umum Guru Indonesia, mengatakan, Malaysia yang menjalankan program dan pembelajaran Matematika dan Sains dalam bahasa Inggris sejak 2003 menilai program itu gagal dan dihapus.

Nilawati Hadisantosa, pengajar di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, mengatakan, pemerintah harus segera mengkaji dampak RSBI yang menimbulkan kesenjangan sosial. (ELN)

Wah...Desakan Hentikan RSBI/SBI Menguat!

JAKARTA, KOMPAS.com — Desakan kepada pemerintah untuk menghentikan rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) di Indonesia semakin menguat. Dukungan untuk menghentikan praktik RSBI/SBI itu mulai datang dari Komisi X DPR.

Hal itu terungkap dalam pertemuan Ikatan Guru Indonesia (IGI) dengan sejumlah anggota Komisi X DPR di Jakarta, Selasa (8/3/2011). Pada kesempatan ini, IGI yang merupakan organisasi guru dengan fokus memberdayakan guru secara mandiri menyampaikan Petisi Pendidikan tentang SBI.

Ketua Umum IGI Satria Dharma mengatakan, RSBI/SBI justru akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Masyarakat akan merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program tersebut.

Seperti yang juga diberitakan di Kompas.com, Selasa (8/3/2011), Satria mengatakan, janji RSBI/SBI sebagai sekolah berkelas dunia, dengan segala sistem manajemen, mutu guru, sarana, infrastrukturnya, dan kriterianya, tidak akan bisa dipenuhi. Program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya, dan 90 persen pasti gagal.

"Di luar negeri, konsep ini gagal dan ditinggalkan," kata Satria.

Itje Chotidjah, guru yang sering diminta mengajari guru-guru SBI belajar bahasa Inggris, merasa sedih dan prihatin.

"Guru-guru SBI itu hanya belajar bahasa Inggris dalam lima hari dan mereka disuruh mengajar materi pelajaran dalam bahasa Inggris," ujar Itje.

Ketua Dewan Pembina IGI Ahmad Rizali menambahkan, pemerintah mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL lebih dari 500. Padahal, tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris.

"TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogi," kata Rizali.

Pengutamaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga memprihatinkan. Padahal, di Jepang, China, dan Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya memiliki kualitas dunia.

Tidak efektif

Soal bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah-sekolah yang ternyata tidak efektif, termasuk di Indonesia lewat program RSBI/SBI, telah dikaji British Council. Simposium dilaksanakan selama dua hari mulai Rabu (9/3/2011) ini.

"Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris, perkuat bidang studi bahasa Inggris dan bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan," papar Satria.

Dampak yang paling terasa dengan kebijakan RSBI/SBI adalah terciptanya diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan sehingga menjadi sangat komersial. Satria mengatakan, komersialisasi pendidikan inilah yang kita tentang karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah.

Anggota Komisi X, Dedi S Gumelar, mengatakan, pada program RSBI/SBI dianggap banyak terjadi penyimpangan di masyarakat. Padahal, selama ini ada banyak sekolah baik dengan kualitas siswa berkelas dunia tanpa harus dilabel sebagai sekolah internasional.

"SBI harus dikoreksi. SBI hanya menjadi market label. Subtansinya tidak memiliki mutu berkelas internasional," ujar Dedi.

Secara terpisah, dalam rapat kerja nasional Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta Indonesia (ALPTKSI) juga mendesak penghentian RSBI/SBI. Program ini akan membuat pendidikan kita disfungsional dan mengancam aspek paling strategis dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, yaitu sumber daya kepemimpinan nasional.

"Dengan menetapkan standar internasional, sesungguhnya kita diperbudak oleh kekuatan global yang memaksa kita memandang keluar (outward looking) dan mengabaikan berbagai kepentingan nasional. Dunia pendidikan harus melayani apa yang menjadi kebutuhan stakeholder-nya. Akibat kebijakan ini akan membuat upaya pendidikan kita semakin tak nyambung dengan kebutuhan," kata Ketua ALPTKSI Sulistiyo. (ELN)

10 Alasan Utama SBI Harus Dihentikan

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada sepuluh kelemahan utama yang menjadi alasan kuat bagi Kementrian Pendidikan Nasional untuk segera menghentikan program sekolah bertaraf Internasional (SBI). Mulai dari salah konsep hingga merusak bahasa dan mutu pendidikan, program SBI dianggap tidak cocok dan harus segera ditinggalkan.

Demikian dilontarkan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma dalam Petisi Pendidikan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dinilai sebagai program gagal. Petisi itu dipaparkan Ketua Umum IGI Satria Dharma di depan Komisi X DPR RI, Selasa (8/3/2011), untuk mendesak Komisi X segera menghentikan sementara seluruh program SBI.

"Program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan," kata Satria tentang isi petisi tersebut.

Menurutnya, sepuluh kelemahan mendasar program SBI itu harus dievaluasi, diredefinisi, dan perlu dihentikan. Kelemahan pertama, kata Satria, program SBI jelas tidak didahului riset yang lengkap sehingga konsepnya sangat buruk.

"Bisa dibuktikan, bahwa tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam dalam SBI," tegas Satria.

Kedua, SBI adalah program yang salah model. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing school).

Ketiga, program SBI telah salah asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL> 500.

"Padahal, tidak ada hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogis," paparnya.

Merusak bahasa

Satria memaparkan, kelemahan keempat pada SBI adalah telah terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik. Menurutnya, guru tidak mungkin disulap dalam lima hari agar bisa mengajarkan materinya dalam bahasa Inggris. Akibatnya, banyak siswa SBI justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena mereka tidak memahami materi bidang studinya.

"Itulah fakta keras yang menunjukkan bahwa program SBI ini telah menghancurkan best practice dan menurunkan mutu sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah SBI," tambahnya.

Di sisi lain, hasil riset Hywel Coleman dari University of Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaana bahasa Inggris dalam proses belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia siswa.

Sementara itu, kelemahan kelima dari SBI adalah penggunaan bahasa pengantar pendidikan yang salah konsep. Dengan label SBI, materi pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris, sementara di seluruh dunia seperti Jepang, China, Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya tetap berkualitas dunia.

"Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris yang harus diperkuat itu bidang studi bahasa Inggris, bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan," tegas Satria.

Keenam, SBI dinilai telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan. Sementara itu, kelemahan ketujuh menegaskan, bahwa SBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial.

"Komersialisasi pendidikan inilah yang kita tentang, karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah di SBI," tandas Satria.

SBI juga telah melanggar UU Sisdiknas. Karena menurut Satria, pada tingkat pendidikan dasar sekolah publik atau negeri itu wajib ditanggung pemerintah. Kenyataannya, dalam SBI peraturan ini tidak berlaku.

Kedelapan, SBI telah menyebabkan penyesatan pembelajaran. Penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah karena tanpa itu semua sebuah sekolah tidak berkelas dunia.

"Program ini lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal, pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat," katanya.

Kelemahan kesembilan, lanjut dia, SBI telah menyesatkan tujuan pendidikan. Kesalahan konseptual SBI terutama pada penekanannya terhadap segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala hal yang nonakademik.

"Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa sebagai seorang yang cerdas akademik belaka, padahal pendidikan bertujuan mendidik manusia seutuhnya, termasuk mengembangkan potensi siswa di bidang seni, budaya, dan olahraga," ujar Satria.

Kelemahan terakhir, SBI adalah sebuah pembohongan publik. SBI telah memberikan persepsi yang keliru kepada orang tua, siswa, dan masyarakat karena SBI dianggap sebagai sekolah yang "akan" menjadi sekolah bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal, kata Satria, kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai dan bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada.

"Ini sama saja dengan menanam 'bom waktu'. Masyarakat merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program ini," kata Satria.

Jumat, 04 Maret 2011

Dikeluarkan Sekolah gara-gara Facebook

KOMPAS.com — "Sekola saya korupsi looh! Pengen saya basmi!" Fresta (17) sungguh sedang kesal ketika menulis kalimat itu di status Facebook-nya. Namun, ia tidak pernah menyangka, kalimat itu bakal membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Malah bukan hanya dia, melainkan juga dua temannya yang ikut nimbrung di status itu.
Fresta adalah siswi kelas XI di Sekolah Menengah Kejuruan Pembangunan (SMK Pembangunan) Kota Bogor di Jawa Barat. Pada tanggal 8 Februari 2011, pukul 17.54, ia menulis dua kalimat itu di statusnya. Teman sekelasnya, Firda (17), ikut-ikutan memberi jempol pada status itu sebagai tanda menyukainya. Adapun Amelia (17) mengomentari dengan, "Hahahaha bener banget tuh".

Dua hari setelah itu, wali kelasnya mendatangi rumah Fresta di Kedung Halang, Kecamatan Bogor Utara. Sang guru mengundang orangtua Fresta untuk datang ke sekolah keesokan harinya. Saat ibu Fresta, Romlah Suharti (40), bertanya, sang guru tak menjelaskan, sambil beralasan akan ada penjelasan.

Keesokan harinya, pada 11 Februari, Romlah datang bersama Fresta. Beberapa menit di sana, ia sudah disodori selembar kertas kosong bermeterai. Manajemen sekolah meminta Fresta membuat surat pengunduran diri. Sekolah beralasan, ada perilaku Fresta yang tidak sesuai.

Romlah memohon agar sekolah tak mengeluarkan anaknya. Hari itu ia masih menolak menandatangani. Tanggal 14 Februari, Fresta resmi dikeluarkan dari sekolah setelah tetap tak ada titik temu. Hal serupa juga dialami dua temannya, Amelia dan Firda.

Mengapa menulis seperti itu di Facebook? "Soalnya denger-denger begitu. Siang sebelum menulis, air di kamar mandi sekolah ngadat. Hari itu juga datang orang PDAM ke sekolah nagih. Katanya tiga bulan belum bayar," tutur Fresta, Kamis (3/3/2011) di ruang rapat Komisi D DPRD Kota Bogor.

Amelia, Firda, serta lima kakak kelasnya, Pipih, Agustianingsih, Rinawati, Salamah, dan Munengsih, didampingi beberapa wakil orangtua hari itu mengadu ke DPRD agar mendapat keadilan dan kembali diterima bersekolah di SMK Pembangunan Bogor.

Manajemen sekolah sudah pernah juga mengeluarkan siswanya pada akhir Desember 2010. Saat itu yang dikeluarkan bahkan lima siswi kelas XII, tingkat akhir yang bakal mengikuti ujian nasional pada April mendatang. Alasannya, mereka kerap membolos sekolah dan berperilaku tidak baik.

"Fresta tidak bermasalah. Tidak membolos dan nilainya juga sedang-sedang," tutur Romlah. Ia mengaku anaknya memang pernah dihukum saat kelas X. Ketika itu ada razia telepon genggam. Ia meminjam telepon genggam temannya untuk mengirim pesan singkat, tetapi dalam telepon genggam itu ternyata ada gambar porno. "Itu juga bukan punya anak saya. Dan, setelah itu tidak ada masalah lain," tuturnya.

Menurut Romlah, sekolah seharusnya bisa instrospeksi diri mengapa sampai ada siswa yang menulis dengan status seperti itu di situs jejaring sosial. Artinya, ada ketidakpuasan dan seharusnya mereka tidak menanggapinya dengan keras langsung mengeluarkan, tetapi mengayomi.

Saat rapat dengan sejumlah anggota Komisi D DPRD Kota Bogor, mata Fresta tampak berkaca-kaca. Ia mengenakan seragam putih abu-abu. Begitu pula dengan dua temannya yang ikut nimbrung di status itu dan turut terkena getahnya dikeluarkan dari sekolah. Beberapa anggota DPRD sempat emosi berkomentar di hadapan Kepala SMK Pembangunan Bogor Fahruraji dan Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bogor Fajar Maulana Yusuf.

"Saya juga punya anak perempuan yang juga seumur mereka. Seharusnya sekolah itu mendidik anak, bukan membinasakan dengan dikeluarkan dari sekolah. Apalagi yang kelas XII, sudah mau ujian nasional," ujar Dodi Setiawan, anggota DPRD Kota Bogor dengan suara bergetar.

Seorang anggota DPRD lainnya memegang tangannya, berupaya menenangkan. Tiga dari lima siswi kelas XII itu mengaku, alasan dikeluarkan juga karena dituduh berbuat tidak senonoh di luar sekolah. "Alasan kepada orangtua memang karena bolos, tapi belakangan disebut-sebut kami ini cewek enggak bener," tutur Rina, seperti diakui pula oleh temannya, Agustianingsih.

"Sewaktu protes dikeluarkan, ada guru yang bilang percuma karena katanya ada yang pernah lihat saya di hotel. Katanya sekolah punya satgas. Padahal, itu enggak betul," tutur Rina.

Ia menduga tuduhan itu disebabkan ia dan keempat temannya kerap berdandan modis. Dua di antaranya menggunakan kawat gigi, serta beberapa kali ada yang membawa telepon genggam cukup bagus.

Sejak dikeluarkan, dia mengaku belum menemukan sekolah pengganti sehingga khawatir tidak bisa mengikuti ujian nasional. Namun, dari pertemuan itu, Dinas Pendidikan Kota Bogor berjanji akan memfasilitasi mereka kembali bersekolah di SMK Pembangunan dan bisa mengikuti ujian nasional.

"Nomor ujian nasional sudah dicetak, tetapi saya akan mencoba mendaftarkan lima siswi itu," tutur Fajar. Sekolah juga akhirnya berjanji akan menerima kedelapan siswa itu.

Namun, soal alasan siswi itu dikeluarkan, Fahruraji cuma melempar tersenyum. Apa benar karena status Facebook? "He-he-he. Ada hal-hal yang kurang pas saja. Ya, seolah dia tidak concern kepada sekolah," ujar Fahruraji sambil berlalu.