Senin, 28 Februari 2011

2011, Pendidikan Profesi Guru Tak Jelas

JAKARTA, KOMPAS.com — Pendidikan profesi guru dalam jabatan pertengahan 2011 ini terancam terkatung-katung. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang ditunjuk pemerintah masih menunggu kejelasan pelaksanaan hingga pendanaan.

Wakil Ketua Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia, Bedjo Sujanto, mengatakan, hingga kini belum ada kejelasan penanggung biaya pendidikan profesi guru (PPG) itu.

"Jika guru yang harus bayar, kasihan. Nanti hanya guru mampu yang ikut. Tidak adil," kata Bedjo yang juga Rektor Universitas Negeri Jakarta, Senin (21/2/2011).

Hal sama diungkapkan Rektor IKIP PGRI Semarang, Muhdi.

"Banyak yang belum jelas, apakah guru mendaftar langsung ke LPTK atau dinas pendidikan. Juga soal biaya. Kami tunggu kepastian pemerintah, baru menjaring peserta PPG," kata dia.

Pendidikan profesi guru yang dimaksud hanya bisa diikuti guru-guru dalam jabatan yang masuk database Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama. Untuk guru SD memenuhi kualifikasi pendidikan D-IV/S-1, PPG enam bulan. Adapun guru SMP/SMA sederajat atau guru bidang studi butuh satu tahun.

Penyelenggaraan PPG untuk mempercepat penyelesaian sertifikasi guru yang harus tuntas tahun 2015. November tahun lalu, tercatat 800.000 dari 2,6 juta guru yang disertifikasi lewat penilaian berkas (portofolio).

Pelaksanaan sertifikasi lewat penilaian portofolio, juga pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) sekitar sembilan hari dibiayai penuh pemerintah. Untuk PPG guru dalam jabatan, justru guru yang harus membiayai sendiri. (ELN)

Selasa, 22 Februari 2011

Menulis Cepat? Bagaimana Caranya?

Oleh Wijaya Kusumah

KOMPAS.com — Banyak teman yang bertanya kepada saya bagaimana caranya menulis dengan cepat. Lalu saya jawab, bila Anda ingin menulis dengan cepat, menulislah seolah-olah Anda mengobrol dengan seorang lawan bicara. Anggaplah pembaca sebagai lawan bicara Anda karena dengan begitu kata demi kata meluncur dengan deras dari otak Anda yang cerdas itu.
Tak perlu malu dan ragu. Lekaslah menulis. Menulis cepat pada hakikatnya adalah kemampuan yang bisa dimiliki oleh setiap orang.

Setiap manusia memiliki kemampuan menulis dengan cepat. Anda bisa dan saya pun pasti bisa asalkan telah terbiasa melakukannya. Sebab, menulis cepat terjadi dari gerakan alam bawah sadar kita yang membuat tulisan itu akhirnya muncul. Persoalan dibaca atau tidak, itu urusan belakangan karena yang terpenting adalah sudah melakukan proses menulis cepat.

Dengan menulis cepat, banyak hal yang bisa Anda tuliskan. Meskipun demikian, harus ada tujuan dalam hati yang ditujukan untuk diri sendiri kenapa mau menulis.

Menulis dengan cepat dapat dilakukan dengan beberapa langkah ringan saja. Kondisi Anda rileks saja. Sebab, dalam keadaan rileks Anda seperti orang jenius, yaitu sebuah kondisi saat Anda merasakan semua hal yang ada di kepala tersalurkan dengan deras dalam kata-kata yang mengalir begitu cepat. Secepat Anda mengetik dengan menggunakan sepuluh jari tangan Anda.

Bagi Anda yang menggunakan sebelas jari, tak usah frustrasi. Caranya?

Ikuti irama kata hati Anda. Perlahan namun pasti, jari-jari tangan Anda itu akan menemukan huruf-huruf dengan mudahnya, sebab intuisi Anda berjalan dengan alamiah. Anda tak perlu lagi melihat letak huruf-huruf di papan tik karena secara naluriah dan alamiah tangan sudah tahu harus menjejakkan di huruf yang mana.

Menulis cepat itu pada dasarnya mudah, tak perlulah dibuat susah. Sesuatu akan menjadi mudah bila sudah terbiasa mengerjakannya dan alam bawah sadar Anda sudah bekerja dengan baik. Katakan dalam hati, "bisa!" maka secara otomatis alam bawah sadarmu mengatakan "bisa".

Menulis cepat, bagaimana caranya?

Caranya, lekas saja menulis dengan sebuah tujuan menyampaikan pesan kepada pembaca. Katakan kepada mereka bahwa menulis cepat itu mudah. Semudah melahap makanan di saat lapar karena kamu fokus dalam melakukannya. Intinya, setiap orang memiliki kemampuan menulis cepat, hanya saja belum semua orang dapat memunculkannya.

Perlu rangsangan atau stimulus yang membuat Anda terangsang seperti Anda mencium minyak wangi kesturi yang harum baunya dari seorang bidadari yang cantik jelita.

Jadi, setiap orang bisa menulis dengan cepat, secepat saya menuliskan artikel ini untuk Anda. Saya hanya memerlukan waktu semenit saja dan silakan mencobanya sendiri. Anda pasti bisa melakukannya.

Penulis adalah Dosen STMIK Muhammdiyah Jakarta dan Guru TIK SMP Labschool Jakarta

Selasa, 01 Februari 2011

76,6 Persen Siswa SMP "Buta" Matematika

JAKARTA, KOMPAS.com — Kemenangan siswa Indonesia di berbagai ajang olimpiade internasional rupanya tak membuat kualitas siswa Indonesia meningkat. Justru sebaliknya, sekitar 76,6 persen siswa setingkat SMP ternyata dinilai ”buta” matematika.
Demikian diungkapkan Iwan Pranoto, pakar matematika dari Institut Teknologi Bandung, dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia, Jumat (28/1/2011). Hadir dalam diskusi yang dilangsungkan di Sekretariat Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), antara lain, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Ketua Program GIM Anies Baswedan (tuan rumah), guru besar ITB Bana Kartasasmita, serta sejumlah dosen dan guru.

Menurut dia, dihitung dari skala 6, kemampuan matematika siswa Indonesia hanya berada di level kedua. Ironisnya, lanjut Iwan, kondisi itu bertahan sejak 2003. Artinya, selama tujuh tahun,kondisi itu stagnan alias tak berubah.

"Di sini tampak bahwa siswa Indonesia dengan profisiensi di bawah level dua sangat tinggi, mencapai 76,6 persen dari populasi. Juga tampak, jika dibandingkan dengan 2003, kondisinya hampir tidak berubah. Ini menunjukkan bahwa pengajaran matematika yang sekarang tidak mampu mengangkat ke level dua atau lebih. Pembenahan pendidikan matematika sekolah kita belum berhasil," ujar Iwan dihubungi di Jakarta, Senin.

Menurut Iwan, berdasarkan hasil The Program for International Student Assessment 2010, posisi Indonesia mengenaskan, yaitu hanya juara ketiga dari bawah. Indonesia hanya lebih baik daripada Kirgistan dan Panama.

"Berdasarkan penyajian grafik, yang harus diperhatikan bukan posisi Indonesia yang di posisi tiga dari bawah," papar Iwan.

Namun, dia melanjutkan, yang justru merisaukan adalah dua fakta berikut, yaitu persentase siswa Indonesia yang di bawah level kedua sangat besar (76,6 persen) dan persentase siswa yang di level 5 dan 6 secara statistika tidak ada.

Ia menuturkan, menurut definisi level profisiensi matematika dari OECD, siswa di bawah level dua dianggap tidak akan mampu berfungsi efektif di kehidupan abad ke-21. Menurut dia, penyebab utama hasil terburuk ini adalah ketidaksesuaian ekspektasi kebermatematikaan di program pendidikan matematika di Indonesia dan dunia pada abad ke-21.

"Kegiatan bermatematika yang dituntut dunia adalah bermatematika utuh, sedangkan yang dilakukan siswa kita hanyalah parsial. Selain itu, proses belajar matematika di Indonesia masih berpusat pada penyerapan pengetahuan tanpa pemaknaan. Padahal, yang dituntut di dunia global justru berpusat pada pemanfaatan hasil belajar matematika dalam kehidupan, yaitu pemahaman, keterampilan, dan karakter," ungkapnya.