Namun sebetulnya dibalik kesuksesan itu, Jepang sendiri sempat mengalami kekurangpuasan dengan sistem pendidikan yang mereka miliki, khususnya antara tahun 1980an sampai sekitar tahun 1990an. Akibatnya, kementrian pendidikan berupaya melakukan serangkaian reformasi yang berpengaruh pada kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkembang saat ini. Meski begitu, kebijakan-kebijakan atas reformasi itu sendiri masih sering menjadi bahan perdebatan di kalangan para stakeholder dan pemerhati pendidikan.
Menurut catatan Christopher Bjork dan Ryoko Tsuneyoshi, berbagai penelitian yang dipublikasi selama periode dua dekade dari abad ke 20 banyak mengetengahkan isu komparatif guna mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem pendidikan di Jepang dibanding dengan negara-negara yang lain. Hasilnya secara umum hanya menggarisbawahi aspek-aspek yang unggul dari sistem pendidikan tersebut, misalnya dasar yang kuat yang ditanam pada para siswa untuk bidang studi matematika dan ilmu pasti, komitmen masyarakat yang kuat pada keunggulan akademik, keselarasan hubungan antara pengajar dan peserta didik, serta budaya pengajaran yang sarat perencanaan dan implementasi yang matang.
Seiring dengan melimpahnya kekaguman berbagai bangsa luar, termasuk Indonesia atas sistem yang dikembangkan tersebut berbagai perdebatan seputar hakikat dan tujuan sistem itu beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya mewarnai dinamika pendidikan di negara ini.
Perdebatan ini banyak terjadi antara mereka yang tamat dari sekolah-sekolah dalam negeri dan mereka yang tamat dari luar negara. Selain itu, selama bertahun-tahun sistem pendidikan di negeri sakura ini dinilai terlalu kaku dalam mengaplikasikan ujian masuk bagi para calon siswa baru serta semata-mata menekankan kemampuan ingatan terhadap fakta-fakta yang ada.
Fenomena inilah yang kemudian menggugah kementrian pendidikan, budaya, olahraga, ilmu pengetahuan serta teknologi (MEXT) untuk memelopori “Yutori Kyoiku”, suatu reformasi pendidikan guna meredam intensitas tersebut.
Namun demikian, aplikasi pada reformasi ini bukannya membuat perdebatan reda, tetapi justru menyulut berbagai percikan kritikan baru. Di satu pihak, ada yang berupaya mengembalikan sistem pendidikan Jepang pada agenda awal dengan mengembalikan fungsi kurikulum secara penuh. Di lain pihak ada yang bersikukuh mendorong Jepang makin meningkatkan standar akademik, seiring dengan pengembangan program “Super Science” untuk siswa-siswi sekolah lanjutan atas, yang notebene untuk mereka dengan kemampuan di atas rata-rata.
Kecenderungan sosial akademik ini tidak bisa dibendung dan sejumlah sekolah lokal mengembangkan kebijakan orientasi pada pasar (market-oriented policies) seperti misalnya berlomba-lomba untuk menjadi sekolah pilihan.
Berbagai perdebatan yang muncul tersebut seakan-akan mempertanyakan sistem pendidikan yang sedang berkembang di Jepang saat itu, bahkan ada beberapa dari mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan Jepang saat itu ada dalam suatu titik genting. Di tengah-tengah tantangan untuk mengurangi beban tekanan akademis bagi para siswa, pengembangan motivasi belajar, kemampuan berpikir kritis ada sejalan dengan upaya untuk membekali para siswa pada kemampuan-kemampuan akademik dasar.
Para pendidik pun disibukkan untuk menggali berbagai pendekatan yang sekiranya tidak hanya bisa menjawab pertanyaan para stakeholder tersebut, namun juga bisa tetap berada pada jalur kurikulum yang telah mereka sepakati. (Sumber: Kompas.com)
Diposkan oleh Dr. suyatno, M.Pd. di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar