Jumat, 29 Juli 2011

Nuh: Pak Bupati, Pak Wali, Ayo Segera Tobat


JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Pendidikan Nasional M Nuh, Kamis (28/7/2011), di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, merinci 39 kabupaten/kota yang belum menyalurkan bantuan operasional sekolah (BOS) periode triwulan kedua. BOS ini seharusnya telah disalurkan ke sekolah paling lambat pada Juni 2011. Nilai uang BOS triwulan kedua yang belum disalurkan mencapai sekitar Rp 300 miliar.

Nuh mengimbau agar para bupati/wali kota segera menyalurkan dana tersebut.

"Pak Bupati, Pak Wali Kota, tolong ini kan hak murid-murid di kota kalian. Wong uangnya sudah dikirim sejak dulu kala. Tinggal nyalur-kan thok. Ayo, kita dorong segera tobat. Segera salurkan uang itu. Bagi-bagi duit (BOS) aja susah, apalagi cari duit," kata Nuh kepada para wartawan.

Nuh juga mengatakan, Kabupaten Supiori, Papua, belum menyalurkan BOS sejak triwulan pertama. Ia mengatakan, pihak pemerintah memberikan seribu alasan mengapa dana BOS belum disalurkan. Salah satu yang paling utama adalah pemda beralasan belum ada laporan dari sekolah. Padahal, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, tak ada keharusan bagi pemda untuk menunggu laporan dari sekolah.

Bagi Nuh, hanya ada satu penyebab mengapa dana BOS belum disalurkan ke sekolah.

"Tidak ada komitmen," katanya. Pada saat yang bersamaan, Nuh memuji Pemda Banyumas dan Purbalingga yang paling cepat menyalurkan BOS. Pada triwulan III, Banyumas dan Purbalingga hanya membutuhkan satu hari untuk menyalurkan BOS. Kedua kabupaten tersebut menerima dana BOS triwulan III pada 6 Juli 2011, dan keesokan harinya, sekolah telah menerima kiriman dana BOS.

Kamis, 28 Juli 2011

Akhirnya, Biaya Sekolah Andika Digratiskan


JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak SDN Kotakusuma, Sangkapura, Bawean, akhirnya menggratiskan biaya pendidikan Andika Imam Taufik, siswa kelas III di sekolah tersebut. Andika adalah siswa yang berasal dari keluarga tak mampu. Ia membawa kursi sendiri ke sekolahnya karena ibunya, Musnada, tak mampu memenuhi pembayaran uang kursi sebesar Rp 55.000. Kepala Sekolah SDN Kotakusuma,

Sangkapura, Bawean, Kabupaten Gresik, Hadi Suwoyo mengatakan, setelah mendengarkan penjelasan orangtua Andika pada Rabu kemarin, pihaknya membebaskan seluruh biaya Andika.

"Setelah mendapatkan penjelasan, bahwa orangtunya tidak mamu, segala biaya dibebaskan," kata Hadi saat dihubungi Kompas.com dari Jakarta, Kamis (28/7/2011).

Hadi kembali menjelaskan bahwa pengadaan kursi plastik tersebut berdasarkan inisiatif para orangtua siswa yang diputuskan melalui rapat. Namun, ibu Andika, Musnada, tidak hadir pada rapat tersebut. Meski demikian, ia memahami keberatan Musnada, karena keterbatasan kemampuan secara ekonomi setelah suaminya meninggal dua tahun lalu.

"Ini hanya masalah miskomunikasi saja. Maka, sekolah mengambil langkah, menanggung seluruh biaya sekolah Andika," ujarnya.

Sebelumnya, Musnada, yang berprofesi sebagai penjual jamu keliling, mengaku berat membayar uang kursi sebesar Rp 55.000. Ia pun memutuskan membeli sebuah kursi plastik secara kredit untuk menjadi alas duduk Andika di sekolah. Tak hanya itu, biaya sekolah Andika sebesar Rp 324.000 pun belum mampu dilunasinya. Musnada sempat mecicil sebesar Rp 200.000. Ia memang berharap ada keringanan dalam pembiayaan sekolah Andika.

"Kami bebaskan seluruhnya," tegas Hadi.

Selasa, 26 Juli 2011

Andika Tenteng Kursi Sendiri ke Sekolah


GRESIK, KOMPAS.com - Sebuah kisah menggugah kembali datang dari dunia pendidikan. Andika Imam Taufik (9), siswa kelas III SD Negeri Kotakusuma, Sangkapura, Bawean, membeli kursi plastik sendiri karena tak mampu membayar "biaya kursi" yang ditetapkan pihak sekolah. Kursi itu ditentengnya setiap hari ke sekolah.

Andika yang tercatat sebagai siswa kelas unggulan ICP (International Class Program) di sekolahnya terpaksa mendapat perlakuan berbeda di sekolah. Ia harus mengikuti pelajaran di bangku seadanya ketika teman lainnya duduk di kursi baru.

Untuk memasuki tahun pelajaran baru, Andika sebagai siswa ICP, diharuskan membayar biaya sebesar Rp 324.000 sesuai ketentuaan pihak sekolah. Biaya sekolah itu tidak termasuk biaya beli kursi yang nilainya Rp 55.000. Sebagai anak dari keluarga kurang mampu, Andika hingga kini belum bisa membayar biaya sekolah termasuk ‘biaya kursi’ sekolah. Oleh karena itu, ia harus menjalani pendidikan di bangku seadanya. Ibunda Andika, Musnada (35), pun akhirnya nekad membeli kursi plastik sendiri ke pasar, meskipun harus dengan cara kredit.

“Saya sempat diberitahu penjual di pasar kalau sudah ada orang yang membelikan kursi untuk teman-teman sekelas Andika. Karena saya bersikeras, penjual membolehkan saya membeli kursi dengan cara cicilan dan harga potongan,” ujar Musnada, Senin (25/7/2011).

Musnada menjelaskan, ia mendapatkan informasi dari tetangga yang putranya juga sekelas dengan Andika bahwa ada rapat wali murid yang menyebutkan penarikan uang kursi sebesar Rp 55.000.
Musnada tidak bias menghadiri rapat wali murid kala itu karena ia harus bekerja. Saat itu, wanita yang bekerja sebagai penjual jamu pikulan keliling itu tak mengikuti rapat tersebut.

“Saya tidak ikut rapat dan saya juga tidak membayar karena belum ada uang. Biasanya bayarnya di belakang saat semesteran atau saat dapat uang waktu Lebaran,” terang Musnada, yang kini menjadi orangtua tunggal setelah suaminya meninggal dunia dua tahun lalu.

Perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah ini memiliki dua anak, Andika, dan si sulung Ana Lutfiyah yang masuk kelas VII MTs Umar Mas'ud, Sangkapura. Musnada mengaku sangat kesulitan menanggung biaya pendidikan anaknya, karena ia menjadi orangtua tunggal dan pemasukan yang didapat hanya dari berdagang kecil-kecilan. Dari penghasilan berjualan jamu, dalam sehari rata-rata ia mengantongi Rp 20.000 hingga Rp 35.000.

Penghasilan tersebut diputarnya kembali untuk membeli bahan pembuatan jamu, membeli beras, dan uang saku kedua anaknya. Untuk biaya pendidikan anak sulungnya, ia bersyukur karena ditanggung oleh Kepala MTs, Fatimah.

"Terus terang, ini karena hanya keinginan yang besar untuk menyekolahkan anak. Sebenarnya kondisi kami kurang mampu membiayainya," ujar Musnada.

Sementara itu, Kepala Sekolah SDN Kotakusuma, Hadi Suwoyo, seperti dikutip dari Media Bawean menyatakan, dirinya baru menjabat posisi saat ini. Sebagai kepala sekolah SDN Kotakusuma yang baru saja dilantik, sampai saat ini belum memutuskan program. Sehingga, menurutnya, apa yang berjalan merupakan kebijakan lama. Hadi menyebut, adanya siswa tidak mampu yang diharuskan mengeluarkan biaya pendidikan, akan dievaluasi kembali.

"Sebagai kepala sekolah yang baru di SDN Kotakusuma, tentunya akan mengevaluasi kebijakan lama, bila program yang selama ini baik, dilanjutkan. Tapi bila ada kebijakan dianggap kurang layak, kami evaluasi kembali," paparnya. (Dyan Rekohadi)

Senin, 25 Juli 2011

PM3 Adalah Pelatihan Pengelolaan TPA di Lereng Merapi


Pekan ini, Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu (PM3) bersama TPA Al-Aqsha Windusajan menyelenggarakan Pelatihan Pengelolaan Taman Pendidikan Al-Qur’an yang didukung oleh Relawan Masjid Indonesia – Masjid Jogokariyan Jogja, Majlis Dhuha Mahkamah Konstitusi dan KMKI Jakarta.

Acara diadakan di Gedung TPA Al-Aqsha Windusajan, Desa Wonolelo, Kab. Magelang dengan narasumber Ust. Halim. Peserta dihadiri 110 orang, yang melebihi target panitia.

Peserta tidak hanya dari kabupaten Magelang, tetapi juga dari Kabupaten Boyolali juga. Acara yang tidak dipungut biaya ini, juga dibagikan secara gratis Buku Panduan Pengelolaan TPA, Buku Iqra’ 6 jilid dan Al-Qur’an plus terjemah.

Acara dibuka dengan ceramah motivasi oleh M. Fanni Rahman (Pengasuh Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu (PM3) yang juga Relawan Masjid Indonesia), mereka disemangati untuk berjuang melalui pembinaan anak-anak, di tengah maraknya upaya pemurtadan setelah erupsi merapi.

Materi pertama tentang bagaimana seorang ustad/ustadah mengelola TPA, bagaimana berkomunikasi dengan santri dan bagaimana menyampaikan pelajarannya. Kemudiaan di sesi kedua dimotivasi untuk menjadi ustad/ustadah yang terus bersemangat dan siap menghadapi berbagai tantangan.*
sumber:hidayatullah

Minggu, 24 Juli 2011

Studi di Luar Negeri? Jadilah Pribadi Mandiri!


KOMPAS.com - Dalam beberapa bulan ke depan, para penerima beasiswa akan berangkat ke negara tujuan, untuk memulai studi di berbagai negara yang biasanya dimulai bulan September-Oktober. Nah, selain persiapan yang bersifat materi, persiapan apa lagi yang harus dilakukan? Sejumlah alumni penerima beasiswa Erasmus Mundus membagikan

pengalaman mereka studi di luar negeri dalam sebuah buku berjudul "The Stories Behind". Sebanyak 15 alumni menuliskan kisah dari awal berburu beasiswa, hingga persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Yang pasti, pengalaman mereka akan berguna bagi Anda yang akan mengikuti jejak mereka. Apa saja persiapannya?

Dina Mardiana, yang mengikuti program Master Erasmus Mundus Culture Letterarie Europee (CLE) di Perancis dan Italia selama dua tahun, 2008-2010, mengatakan, ada hal-hal sepele yang sering dilupakan, namun sebenarnya penting dipersiapkan sejak dari Tanah Air. Bukan persiapan materi, tetapi mental.

"Persiapkan diri untuk menghadapi culture shock. Karena kita akan menghadapi budaya yang sangat berbeda. Kuncinya, jadilah mandiri. Jangan selalu bergantung kepada orang lain. Di sini, kita bisa meminta tolong kepada senior. Di sana, lebih individualis, sehingga kita dituntut untuk mandiri," kata Dina, kepada Kompas.com, seusai launching buku The Stories Behind, Kamis (21/7/2011), di Jakarta.

Dalam buku ini, Dina Mardiana turut menuliskan pengalamannya studi di dua negara itu. Ia menggambarkan, masa adaptasi merupakan "ujian" yang cukup berat. Pada tengah tahun pertama, ia sempat merasakan masa adaptasi yang sulit di Italia. Terutama, kendala bahasa.

"Walaupun sudah pernah merasakan kelas bahasa pada setahun sebelumnya di Italia, tetapi kursus dan kuliah tidak sama. Kursus adalah sesuatu yang diusahakan untuk dibuat fun oleh guru ke muridnya, sedangkan pada saat kuliah suasananya benar-benar serius," kisah Dina dalam buku tersebut.

Pengalaman lainnya juga diungkapkan Anggiet Ariefianto, penerima beasiswa Network on Humanitarian Assistance (NOHA) Mundus. Ia juga menekankan, perlunya kemandirian saat berada di negeri orang. "Saya sering heran melihat mahasiswa Indonesia yang saat tinggal di luar negeri (terutama di negara-negara Eropa yang tingkat kriminalnya rendah) sangat tidak mandiri, tidak berani bepergian sendiri dan merepotkan orang lain dengan minta ditemani," ungkap Anggiet dalam The Stories Behind.

Bahkan, menurut dia, mahasiswa asal Indonesia yang ditemuinya, seringkali meminta tolong untuk hal-hal yang dinilainya remeh. "Seringkali mahasiswa Indonesia minta tolong bahkan sebelum mulai mencoba sendiri," katanya.

Anggiet juga berbagi, agar para mahasiswa yang baru akan menjalani studi di luar negeri untuk menghilangkan perasaan merasa terdiskriminasi. Menurut dia, pemahaman yang kurang soal budaya lokal seringkali menimbulkan perasaan terdiskriminasi.

"Beberapa ketidaknyamanan seperti kampus tidak libur saat Idul Fitri, tidak ada yang menegur saat pesta dan semacamnya, dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Padahal, pada kenyataannya, segala bentuk hari raya agama (kecuali hari raya Kristen yang sebagian besar dianut masyarakat Eropa) memang tidak dirayakan dan tidak dinyatakan sebagai hari libur nasional," paparnya.

Nah, selamat berkelana dan beradaptasi!

Jumat, 22 Juli 2011

Ayo, Minimalkan Angka Remaja Putus Sekolah!


BOGOR, KOMPAS.com - Managing Director Putera Sampoerna Foundation, Nenny Soemawinata menyebutkan, merujuk pada data Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tahun 2009, terdapat sekitar 1,5 juta remaja di Indonesia tidak dapat melanjutkan pendidikan dan menjadi anak putus sekolah. Hal tersebut disebabkan beberapa

hal, yang terbesar adalah karena alasan ekonomi. Menurutnya, 54 persen dari 1,5 juta remaja tersebut terpaksa berhenti sekolah karena tidak memiliki biaya.

"Sedangkan 9,8 persen tidak melanjutkan sekolah karena bekerja atau membantu orang tua mencari nafkah," ungkap Nenny, Kamis (21/7/2011), di Sampoerna Academy Bogor Campus, Caringin, Bogor, Jawa Barat.

Artinya, lanjut Nenny, rata-rata masyarakat Indonesia hanya mengecap pendidikan hingga tingkat awal Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan hanya 10 persen yang melanjutkan pendidikan ke universitas. Melihat kondisi ini, lanjut Nenny, pihaknya akan membantu pemerintah untuk menekan angka remaja di Indonesia yang putus sekolah. Akan tetapi, hal akan terwujud jika ada pihak donor yang ikut bekerjasama dengan program ini.

“Pendidikan merupakan suatu kemewahan bagi sebagian masyarakat Indonesia dan terdapat 1,5 juta remaja usia sekolah yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena alasan keterbatasan ekonomi. Padahal pendidikan merupakan kunci dari pembangunan dan pembentukan calon pemimpin masa depan yang berkualitas yang diharap mampu menghadapi tantangan-tantangan era globalisasi,” ujarnya.

Ia menjelaskan, sesuai dengan motto ‘Learn Today, Lead Tomorrow’, Sampoerna Academy tidak hanya mengedepankan pendidikan akademis namun juga menanamkan nilai-nilai kepemimpinan, toleransi dan kesadaran sosial yang diperlukan untuk membentuk pemimpin masa depan Indonesia.

"Untuk SMA, Sampoerna Academy hanya menyediakan kuota beasiswa lebih kurang 200 orang di setiap Campus Sampoerna Academy. Mungkin saja ada kenaikan, tetapi itu tergantung perusahaan pendonor juga," imbuhnya.

Bahkan, untuk siswa Sampoerna Academy yang ingin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, akan diberikan kredit pinjaman yang bisa dicicil pada saat siswa tersebut sudah bekerja.

"Misalnya, siswa yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi akan diberikan pinjaman sehingga bisa menyelesaikan sampai sarjana. Begitu lulus, akan diberikan tenggat waktu 6 bulan untuk mencari pekerjaan dan dibantu oleh Sampoerna Foundation. Ketika sudah bekerja, maka kredit pinjaman itu bisa dibayarkan dengan cara dicicil selama 14 tahun. Jadi tidak terlalu membebani," jelasnya.

Nenny mengungkapkan, saat ini tengah dirumuskan program-program berkesinambungan, termasuk membentuk tim khusus untuk menggalang dana dan menggandeng pihak-pihak yang memiliki visi sama untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia.

"Peran para pendonor sangat kita perlukan sehingga dapat menggalang dukungan lebih banyak untuk menekan angka putus sekolah di Indonesia. Saat ini, tahun 10 kita berdiri, sudah sekitar 36 ribu beasiswa yang kita berikan untuk siswa usia remaja, 19 ribu guru dan dosen, serta 38 sekolah," ungkap Nenny.

Kamis, 21 Juli 2011

Penyebab Malas Belajar


Memahami anak sebagai individu yang sedang menjalani tahapan-tahapan dalam masa pertumbuhannya, diperlukan kesabaran ekstra. Demikian pula ketika mendapati anak yang telah memasuki usia sekolah begitu malas belajar. Mengandalkan guru untuk menyelesaikan masalah? Tentu tak bisa begitu.
Apalagi bila kita menyadari bahwa anak sesungguhnya memulai pendidikannya dari rumah.

Sehingga, peran orangtua untuk membantu secara langsung kesulitan yang dialami anak merupakan hal yang sangat penting. Mencari penyebabnya adalah langkah awal untuk menerapkan solusi yang tepat.
Robert D. Carpenter MD adalah seorang peneliti yang pernah mengadakan pengamatan terhadap perkembangan belajar murid sekolah dasar di California, Amerika Serikat. Dalam pengamatannya ditemukan adanya penyebab mengapa anak-anak kerap mengalami masalah dalam belajar yang cenderung membuat mereka jadi malas. Berikut ini empat penyebab yang kerap terjadi dan menyebabkan anak malas belajar.
1. Komunikasi tidak efektif
Ingat, target kita berkomunikasi adalah memastikan bahwa ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan kepada penerima pesan (anak) diterima dengan benar. Tentu orangtua ingin agar anak mengerti, menyukai dan melakukan apa-apa yang dipikirkan orangtua. Komunikasi yang efektif juga bisa mengungkapkan kehangatan dan kasih sayang orangtua, misalnya, “Ayah bangga sekali, kamu sudah berusaha keras belajar di semester ini.”
Coba ingat-ingat bagaimana pola komunikasi yang kita bangun selama ini. Sudahkah anak-anak menangkap pesan yang kita sampaikan sesuai dengan yang kita maksud?
Seringkali orangtua lupa menyampaikan ‘isi’ dari pesannya, tapi lebih banyak merembet pada hal-hal yang sebenarnya di luar maksud utamanya. Misal, nilai ulangan harian anak di bawah rata-rata teman sekelasnya. Tanpa bertanya terlebih dulu kepada anak kenapa nilainya jelek, Ibu langsung komentar, “Itulah akibatnya kalau kamu nggak nurut Ibu. Main melulu sih. Ibu tuh dulu waktu sekolah nggak pernah dapat nilai 6. Kamu kok nilainya jelek begini. Gimana sih?” Apa inti pesan yang disampaikan Ibu? Anak salah karena nilainya jelek dan semakin salah karena Ibu selalu membandingkan anak dengan keadaan Ibunya sewaktu sekolah. Akibatnya, anak akan berpendapat, “Ah, nggak ada gunanya bilang ke Ibu kalau nilai jelek. Nanti pasti dimarahin.”
Padahal, mengetahui nilai anak yang di bawah rata-rata buat orangtua sangat penting untuk mengevaluasi penyebabnya. “Wah, nilai anak saya untuk mata pelajaran matematika kenapa selalu jelek ya? Apa yang perlu dibantu?” Sederet pertanyaan itu bisa terjawab bila kita berkomunikasi secara efektif, bukan menyalah-nyalahkan anak. Bila penyebab bisa segera diketahui, maka orangtua bisa mencari solusinya dan melakukan perbaikan.
Komunikasi yang tidak efektif yang berjalan selama bertahun-tahun, pastinya akan berdampak negatif pada pembentukan karakter anak. Padahal, salah satu fungsi komunikasi adalah untuk mengenal diri sendiri dan orang lain. Bisa dipastikan pola seperti itu akan membuat anak bingung dalam mengenali dirinya sendiri dan orangtuanya. ‘Apa sih sebenarnya maunya Ayah/Ibu?’ Kebingungan ini mengakibatkan dalam diri anak tidak tumbuh motivasi kuat untuk berprestasi, toh mereka tak tahu apa gunanya mereka belajar.
2. Tak terbantahkan
‘Pokoknya kamu harus ranking satu. Dulu, ayah sekolah jalan kaki, tapi selalu ranking satu. Kenapa kamu nggak bisa?’ Menekankan dengan kalimat, ‘pokoknya’, ‘seharusnya’, dan kata sejenis lainnya menunjukkan tidak adanya celah untuk pilihan lain.
Orangtua yang tak terbantahkan membuat anak sulit mengemukakan pendapatnya. Bahkan, sulit mengetahui potensi dirinya sendiri, apalagi mengoptimalkan potensinya. Kecenderungan tak terbantahkan ini kalau berlanjut terus bisa menjurus pada upaya memaksakan kehendak orangtua pada anak. Misalnya, “Nanti kamu harus jadi dokter.” Kalaupun akhirnya anak mengikuti kehendak orangtuanya kuliah di fakultas kedokteran, ia akan menjalaninya dengan setengah hati. Bisa jadi, hanya setahun dijalani, selanjutnya keluar karena bertentangan dengan keinginannya. Tentu kita tak ingin ini terjadi bukan?
3. Target tidak pas
Target yang tidak pas, bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi dari kemampuannya. Jangan sampai memaksakan begitu banyak kegiatan pada seorang anak sehingga mereka jadi jenuh dan terlalu lelah. Akibat overaktivitas, banyak anak yang kemudian mulai meninggalkan belajar sebagai kegiatan yang seharusnya paling utama.
Di sinilah peranan orangtua sangat penting, jangan sampai terlalu memaksa anak dengan harapan agar mereka dapat menuai prestasi sebanyak-banyaknya. Mereka didaftarkan pada berbagai macam kursus atau les privat tanpa mengetahui bahwa batas IQ seorang anak tidak memungkinkannya menerima berbagai macam kegiatan yang disodorkan oleh orangtua.
Namun, sebaliknya bagi anak yang memiliki IQ tinggi, juga perlu penanganan khusus, karena mereka tidak cukup dengan target regular untuk anak lainnya. Mereka membutuhkan tantangan lebih supaya potensinya teroptimalkan. Untuk mengetahui potensi ini, orangtua perlu bantuan psikolog.
4. Aturan dan hukuman yang tidak mendidik
Terlalu ketat dalam rutinitas harian bisa menyebabkan akhirnya anak malas belajar. Namun, sebaliknya tanpa membuat rutinitas harian anak tidak terbiasa memiliki jadwal belajar yang harus dipatuhinya. Jalan tengahnya, rutinitas tidak bisa ditetapkan secara sepihak oleh orangtua, namun dibangun bersama-sama.
Membuat aturan juga harus diikuti dengan konsekuensi. Jadi, anak dapat mengerti apa hubungannya antara kepatuhan menjalani aturan dengan konsekuensinya, bukan sekadar hukuman yang tidak mendidik, seperti hukuman cubitan bila dapat nilai jelek
Bagi anak usia SD ke atas, orangtua perlu mendiskusikannya dengan anak. Aturan tersebut ditandatangani dan dipasang di dekat meja belajar. Misal, 1) Belajar sehabis shalat Maghrib sampai Isya; 2) Boleh nonton Avatar pada minggu pagi; 3) Main PS paling lama 2 jam di hari libur; 4) dan seterusnya.
Jangan bosan juga untuk meng-up date kesepakatan dan mengingatkan kalau ada yang melanggar. Ingatkan juga akan konsekwensinya, misalnya “Belajar yuk! Kemarin kita sepakat kan kalau nggak belajar, gimana hayo?”
Biarkan anak menjawab konsekwensinya. Jika aturan itu sudah dibuat bersama, pasti anak ingat akan konsekwensinya. Harapannya, kesadaran untuk belajar akan tumbuh dari dalam diri anak, bukan dipaksakan orangtua. Tidak ada lagi hukuman yang tidak mendidik, karena hukuman akan membuat anak berpikir “Ugh, belajar sangat tidak menyenangkan!”
Mewaspadai empat hal tersebut penting untuk mencegah kemalasan anak semakin parah. Yuk, bantu anak-anak kita agar rajin dan senang belajar.


Sumber : http://ahzami.wordpress.com/2008/06/13/empat-penyebab-anak-malas-belajar/